FRAGMENTA LINTASAN GERAKAN
MUHAMMADIYAH
Dari Masa ke Masa
Oleh: Ahmad Adaby Darban
I
MUQADIMAH
Mengkisahkan dinamika gerakan Muhammadiyah dari masa ke masa tidaklah mudah, dan relatif akan memakan waktu yang panjang, karena Muhammadiyah memiliki aktivitas yang kontinyu dan berkesinambungan. Di samping itu ada beberapa dokumen yang menjadi fakta sejarah sudah hilang (sukar ditemukan). Oleh karena itu tulisan pendek ini hanya bentuk fragmen-fragmen yang dianggap penting dan memiliki peranan dalam dinamika perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa.
Sebelum mengisahkan perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa, terlebih dahulu kiranya perlu diketahui “Apakah Muhammadiyah itu?”. Pertanyaan ini muncul karena di dalam literature asing sering muncul istilah Muhammedanism (untuk menyebut agama Islam). Muhammadiyah bukan terjemahan dari nama Muhammedanism (agama/paham Muhammad), Muhammadiyah bukan nama sekte (aliran) dalam Islam, dan Muhammadiyah pun bukan tariqad. Awal didirikan, Muhammadiyah adalah berbentuk persyarikatan atau organisasi yang bersifat sebagai gerakan Islam, bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya, adil, dan makmur yang diridhoi Allah SWt. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah memiliki kesadaran intelektual, bahwa dipilihnya nama Muhammadiyah mengandung cita-cita agar gerakannya benar-benar mengikuti (ittiba’) pada perjuangan Nabi Muhammad SAW, yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai “USWATUN HASANAH” bagi kita semua (Q.S. Al Ahdzab:21)
Dalam gerakannya Muhammadiyah melakukan “AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR”. Semenjak lahir, Muhammadiyah lebih mengutamakan kiprah kegiatanya dalam bidang keagamaan, sosial dan kebudayaan, serta tidak menjadikan dirinya sebagai kegiatan politik praktis (partai). Beberapa bidang garap Muhammadiyah antara lain : Pamurnian dalam kehidupan Islami, pelurusan dalam ibadah mahdhoh, pembaharuan dalam metode beramaliyah duniawiyah. Selain itu Muhammadiayah mengupayakan peningkatan Kualitas kehidupan umat, kesejahteraan masyatrakat, menolong kesengsaraan umat, dan membentuk peradaban yang Rahmat Lil Alamien.
II
PROSES BERDIRINYA MUHAMMADIYAH
Lahirnya Muhammadiyah tidak terlepas dari dinamika sejarah, perkembangan Islam di dunia padda umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Oleh kerena itu, dalam mengamati proses lahirnya Muhammadiyah tidaklah ditinggalkan adanya pengaruh dari kehidupan umat Islam di dunia, dan juga di Indonesia.
1. Faktor Subyektif
Sebagai faktor penentu utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pengetahuan, penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan terhadap AL Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Pengkajian yang kritis dan aplikatif, menyentuh fakir dan nuraninya, sehingga memiliki “krenteg” untuk mewujudkan dalam sebuah pergerakan yang bersifat amaliah. Inspirasi dari kajiannya, terutama ayat-ayat dalam : S. An Nisa’ : 82, S. Muhammad : 24, dan S. Ali Imron : 104, mendorong semangat Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah persyarekatan, organisasi yang teratur rapi, untuk melaksanakan missi da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat yang dihadapinya. Selain itu, adanya keprihatinan Ahmad Dahlan terhadap kehidupan umat Islam, baik pada kehidupan sosial-ekonomi-pendidikan maupun juga pada bidang pengamalan kehidupan Islamnya.
2. Faktor Obyektif
Adapun yang menjadi sebab obyektif mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah, pertama kehidupan internal masyarakat Islam di Indonesia, dan yang kedua kehidupan masyarakat Islam di dunia internasional. Kedua factor obyektif itu juga sangat mempengaruhi Muhammadiyah berdiri.
a. Bangkitnya kesadaran masyarakat di dunia Islam akan kejumudan, dan penyimpangan terhadap ajaran Islam, serta ketidakberdayaan menghadapi kedloliman penjajahan (kroposnya semangat Jihad). Bangkitnya kesadaran itu muncul diantaranya dari :
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M), salah satu ulama terkenal dan berani mengingatkan para pemimpin negara. Pemikirannya yang terkenal antara lain : Membuka kembali cakrawala IJTIHAD; Memperjuangkan pemurnian dalam Aqidah & Syari’ah/Ibadah mahdhoh, dengan berpedoman pada Al Qur’an & Sunnah Rosulullah; dan Menggelorakan semangat memperjuangkan keadilan & kebenaran, melawan segala bentuk kedloliman kitabnya FiqusSyiyasah (Fikih Politik) yang fatw-fatwanya banyak digunakan untuk melawan penjajahan. Ulama ini wafat dalam penjara, kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauzie.
Muhammad Ibnu Abdul Wahab ( 1703 – 1787 M)
Ulama besar dari Najed, Jazirah Arab ini sebagai pelanjut yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah. yaitu pemurnian Islam dalam kehidupan umat Islam, termasuk dalam Aqidah, Syari’ah, dan ibadah, serta gerakan perlawanan terhadap penjajahan yang menindas negeri-negeri umat Islam. Muhammad Ibnu Abdul Wahab mengaktualisasikan gerakannya dengan bentuk “Al Muwahidun” secara revolusioner. Gerakan ini kemudian dikenal dengan “Wahabi”, yang berpengaruh besar di Saudi Arabia, sehingga banyak pula mempengaruhi pada ulama, hujaj yang lama bermukim di Haromain. Gerakan ini merupakan salah satunya yang memberikan inspirasi bagi gerakan pemurnian Islam dan membangkitnya semangat perjuangan bangsa Indonesia (Gerakan Padri di Sumatera Barat 1819 – 1837; Gerakan rifa’iyah 1850 – 1859; kemudian pergerakan di awal abad 20 seperti Muhammadiyah; Jamiatul Khair; Al Irsyad; dan Persatuan Islam). Di samping Muhammad Ibnu Abdul Wahab, masih ada beberapa ulama besar dunia yang memberikan inspirasi bagi lahirnya Muhammadiyah, antara lain : Syeikh Muhammad Abduh; Syeikh Rasyid Rdla (Al Manar); Jamaluddin Al Afghany (Pan Islamisme); dan lain-lainnya.
Ahmad Dahlan telah dua mukim dan belajar serta berhaji di Makah & Madinah, pada kesempatan inilah banyak menyerap pengalaman keagamaan dan ilmu pengetahuan. Selain itu di tanah air Ahmad Dahlan juga berlangganan majalah yang diterbitkan oleh para ulama salaf ini. Dengan demikian, maka pengaruh dan pemikiran yang berkembang di dunia Islam itu, termasuk salah satu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah.
b. Situasi Kehidupan Masyarakat Islam di Tanah Air (Indonesia)
Masyarakat Islam di tanah airnya menghadapi diskriminasi, eksploitasi, dan penindasan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sehingga mengalami keterbelakangan sosial-ekonomi, pendidikan/wawasan ilmu pengetahuan, dan politik. Kaum Boemi Poetera (Pribumi/bangsa Indonesia) menduduki kelas terendah dalam struktur kehidupan sosial di Hindia Belanda.
Kehidupan beragama dalam masyarakat mengalami kejumudan, dikarenakan bercampur aduk (sinkretis) antara aqidah Islam dengan kepercayaan Hindu, Budha, dan Animisme/dinamisme. Pelaksanaan Ibadah Mahdhoh banyak menyimpang dari tuntunan Al Qur’an & Sunnah Rasulullah.
Menghadapi situasi kehidupan masyarakat Islam di dalam negeri itu, timbul kesadaran Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya untuk berusaha : pertama, mengadakan emansipasi kehidupan masyarakat Islam, sehingga dapat terangkat sama tingginya dengan kelas masyarakat kolonial. Upaya itu dilakukan dengan memacu intelektualitas masyarakat kolonial. Upaya itu dilakukan dengan memacu intelektualitas masyarakat Islam bangsa Indonesia agar memiliki cakrawala Ilmu Pengetahuan yang setara dengan kaum penjajah. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan pembaharuan sistem dan metode pendidikan, serta menyeimbangkan antara pendidikan umum dan agama Islam. Kedua, upaya dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Islam bangsa Indonesia, Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya mengadakan usaha pengentasan kemiskinan (membuat Rumah Miskin, sebagai pusat rehabilitasi/latihan kerja), mendirikan Panti Asuhan Anak Yatim/Piatu. Ketiga berupaya memurnikan Aqidatul Islamiyah dan meluruskan pelaksanaan Ibadah Mahdhoh, sesuai dengan pedoman sumber aslinya, yaitu Al Qur’an & Sunnah Rosul.
Situasi ekstern dan intern itulah, yang banyak mendorong semangat Ahmad Dahlan dan kawan-kawnnya, untuk memperbaiki kehidupan Masyarakat Islam yang mayoritas sebagai kaum Boemi Poetera (Bangsa Indonesia). Maka dapatlah dilihat usaha Ahmad Dahlan membuat gerakan antara lain :
- Gerakan Pembaharuan Pendidikan di kalangan Masyarakat Islam
- Gerakan Pertolongan Kesengsaraan Umat
- Gerakan Pemurnian dan pelurusan dalam Aqidah & Ibadah MAhdhoh
- Gerakan Penanaman cinta Tanah Air dan melawan penjajahan
- Gerakan Tajdid (pembaharuan) dalam metode amaliah duniawiyah
Pada tanggal 1 Desember 1911, diresmikan sekolah pertama pertama yang didirikan oleh Ahmad dahlan, dengan nama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang kemudian dikenal dengan “Kyai School”, disetarakan dengan Volkschool (Sekolah Rakyat). Inilah usaha awal mendirikan sekolah modern (dengan bangku, kurikulum, dan perpaduan antara ilmu umum & agama). Sekolah ini kemudian berkembang, berdirinya sekolah-sekolah lainnya dengan memakai lebel Med De Qur’an, seperti Standard School, HIS, MULO, AMS, KWEEKSCHOOL dan sebagainya. Di samping mendirikan sekolah, Ahmad Dahlan juga mendirikan pesantren yang kemudian berkembang menjadi Mu’alimien & Mu’alimat, Zu’ama & Zu’imat, dan sebagainya.
Para guru yang mengajar di “Kyai School” mengusulkan pada Ahmad Dahlan, agar lembaga pendidikan yang dirintis oleh kyai ini terus hidup, maka diperlukan adanya wadah yaitu organisasi yang mengelolanya. Atas hasil perenungan Ahmad Dahlan dan kemudian dimusyawarahkan pada para santri dan muridnya, maka diputuskan mendirikan Persyarekatan Muhammadiyah, pada tanggal 18 November 1912, di kampung Kauman Yogyakarta, (Adapun Besluit baru keluar tanggal 22 Agustus 1914, berupa Besluit G.g. Hindia Belanda “Statuten Moehammadijah), berdirinya Muhammadiyah ini mendapat sokongan Support dari Boedi Oetomo cabang Yogyakarta.
Pada awalnya persyarekatan Muhammadiyah ini dipengaruhi antara lain : H. Syarkawi; h. Hisyam; H. Fahruddin; H. Abdu ghany; H. Suja’; H. Tamim, dan diketuai oleh H. Ahmad Dahlan, serta dibantu oleh para guru lulusan Kweekschool Gubernamen (murid asuhan Ahmad Dahlan). Dalam menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah, Ahmad Dahlan dibantu oleh R. Sosrosugondo (Guru Bahasa Melayu).
III
MUHAMMADIYAH DARI MASA KE MASA
Dalam mengkisahkan perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa, maka akan lebih jelas mengikuti alur periodesasi kepemimpinan Muhammadiyah, tentu saja akan tampak adanya dinamika yang berbeda, menurut latar situasi dalam waktu yang berbeda-beda. Namun, ada yang penting dan perlu diperhatikan ialah, selama 89 tahun Alhamdulillah Muhammadiyah TIDAK PERNAH PECAH, tetap utuh konsiten pada bidang garap dan gerakannya. Catatan singkat perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa dikisahkan sebagai berikut :
1. PERIODE KEPEMIMPINAN KHA DAHLAN (1912 – 1923)
Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan 9pengajaran), Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ’Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah ”SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti gerakannya.
2. PERIODE KEPEMIMPINAN KH IBRAHIM (1923 –1932)
Pada periode ini Muhammadiyah mulai berkembang meluas sampai kedaerah-daerah luar Jawa. Perangkat yang dibentuk antara lain : Majelis Tarjih, Nasyi’atul’Aisyiyah dan kemudian Pemuda Muhammadiyah. Adapun Aktivitas yang menonjol antara lain :
Pada tahun 1924 mengadakan ”Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok ”Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).
Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool, Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai ”anak panah” Muhammadiyah. Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi ”Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh cabang Solo.
3. PERIODE KEPEMIMPINAN KH HISYAM (1932 – 1936)
Periode ini kegiatan pendidikan mendapatkan porsi yang mantap, selain itu pula diadakan penerbitan administrasi organisasi. Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan pengembangan lembaga pendidikan tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan nama Belanda menjadi nama khas kita, seperti : Volkschool menjadi Sekolah Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis Pimpinan Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan ekonomi anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada tahun 1936 diadadkan Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan anatara lain mendirikan sekolah Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabangdan ranting.
4. PERIODE KEPEMIMPINAN KH MAS MANSYUR (1936 – 1942)
Masa kepemimpinan KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif dan terkenal sikapnya yang istiqomah dan pemberani, sehingga ikut dalam pengisian jiwa gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama yang menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini memaksimalkan Majelis Tarjih, sehingga menghasilkan ”Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan ibadah). Selain itu menggerakkan Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot, dengan konsepnya yang terkenal ”Langkah Dua belas”nya. Catatan kekiatan yang menonjol saat itu antara lain :
a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)
c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda
d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)
e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia
f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa
g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)
5. PERIODE KEPEMIMPINAN KI BAGUS HADIKUSUMA (1942 – 1953)
Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi fisik mempertahankan Republik Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia dan sebagainya.
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.
6. PERIODE KEPEMIMPINAN A.R. SUTAN MANSYUR (1952 – 1959)
Kepemiminan AR Sutan Mansyur dikenal sebagai masa memperkokoh Ruh Tauhid, yaitu dengan disusunnya Khittah Palembang. Pada periode ini yang penting dicatat sejarah antara lain :
a. Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.
b. Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :
- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,
- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,
- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam
- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan Masjumi.
7. PERIODE KEPEMIMPINAN HM YUNUS ANIS (1959 – 1962)
Pada periode ini situasi negara dalam goncangan sosial politik, sehingga baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada gerak perjuangan Muhammadiyah. Namun HM Yunus Anis mampu membawa Muhammadiyah untuk tetap pada jati dirinya, yaitu tetap menempatkan kedudukannya sebagai Gerakan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam bidang sosial keagamaan. Selain itu, penataan administrasi Muhammadiyah dibangun dengan baik sebagaimana organisasi modern. Dokumentasi Muhammadiyah mulai dibenahi dan diatur rapi, sehingga memudahkan penulisan dan penelitian dalam Muhammadiyah.
Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip dan penerbitan Muhammadiyah, serta banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.
8. PERIODE KEPEMIMPINAN KHA BADAWI (1962 – 1968)
Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.
9. PERIODE KEPEMIMPINAN KH FAKIH USMAN / H. AR FAKHRUDIN (1968 – 1971)
Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah “Me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid dalam bidang ideologinya dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.
10. PERIODE KEPEMIMPINAN H. AR FAKHRUDIN (1971 – 1990)
Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan kualitas persyarikatan baik pemurnian amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung Pandang 1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta, 1985.
Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan Pancasila sebagai stu-satunya azaz organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan “Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap beraqidah Islam), Muhammadiyah dalam selamat.
Beberapa keputusan penting antara lain :
a. Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.
b. Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
c. Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis.
d. Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.
e. Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.
f. Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip dokumen Muhammadiyah dan penerbitan-penerbitannya.
11. PERIODE KEPEMIMPINAN KH. AHMAD AZHAR BASYIR (1990 – 1995)
Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang Konsolidasi Gerakan, Bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu dijabarkan secara strategis menjadi :
a. Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM, Bimbingan Keagamaan, dan Peningkatan Hubungan Kerjasama.
b. Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian & Pengembangan pemikiran Islam; Penelitian & pengembangan; dan Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.
c. Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan Islam kesehatan; Pengembangan Sosial Kemasyarkaatan; Kebudayaan; Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan General Muda; Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita; Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber daya manusia.
KH Ahmad Azhar Basyir memimpin Muhammadiyah tidak sampai akhir periode, karena Allah SWT. Memanggil untuk menghadap keharibaannNya. Kepemimpinan PP Muhammadiyah periode ini diteruskan oleh Dr. H. Amien Rais (yang sebelumnya sebagai staf ketua).
Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah (periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien Rais mengundurkan diri dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai ketua umum PP Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian tentang Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H. Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien Syamsuddin, belum dapat ditulis dalam makalah ini. Alhamdulillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar