SARTONO KARTODIRDJO
BEGAWAN SEJARAH YANG HANDAL DAN BERKARAKTER
OLEH:
ADABY DARBAN
I
Kata yang empunya ceritera, seorang mahasiswa baru , pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, baru pertama kali mengetahui seorang dosennya yang berkacamata tebal, dan dosen itu baru saja pulang dari manca-negara, memasuki bilik Jurusan Sejarah, kemudian duduk dan baca buku. Ia tahu dari para mahasiswa seniornya kalau dosen Sejarah itu yang bernama Pak Sartono Kartodirdjo, kata para mahasiswa senior itu, bahwa “beliau nanti baru akan mengajar anda di tingkat doktoral”, katanya pula “ untuk bisa lulus dari mata kuliahnya pun perlu ujian berkali-kali”. Memang Pak Sartono kelihatannya angker, karena kewibawaan ilmunya, sehingga para mahasiswa dan para dosen pun penuh hormat kepadanya.
Setelah mahasiswa itu lulus Sarjana Muda (BA), mulailah mengikuti kuliah di tingkat doktoral I dan kemudian doktoral II, di jenjang inilah berkenalan langsung dengan Pak Sartono Kartodirdjo. Begitu masuk kuliah pertama, Pak Sartono menyatakan bahwa “Sebagai calon Sejarawan modalnya adalah, pertama membaca dijadikan hobby, kedua, meneliti dan menulis dijadikan kegemaran; serta yang ketiga, punya keberanian berbicara untuk menyampaikan pemikiran, itu saja baru bekal minimalnya “. Khusus untuk kuliah Pak Sartono, yang meliputi Teori, Metodologi Sejarah, dan Historiografi ini dilaksanakan di ruang sidang Kantor Lembaga Pedesaan & Kawasan UGM, Bulaksumur E-12. Pada kuliah pertama itu sudah diberi sederet daftar buku yang wajib dibaca, dan pada setiap perkuliahan akan di cek tentang buku apa yang telah dibaca dengan menunjukkan buktI resume hasil bacanya, kemudian didiskusikan. Oleh karena jumlah mahasiswa doktoral itu hanya 7 orang, semuanya akan mudah diamati dan dikontrol, sehingga mahasiswanya harus siap betul, kalau tidak siap lebih baik tidak masuk dengan cari-cari alasan yang masuk akal.
Meskipun mengetrapkan disiplin dalam belajar, pak Sartono juga sembodo bermurah hati selalu meminjamkan buku-buku literaturnya pada mahasiswa. Bahkan ketika Pak Sartono akan pergi ke luar-negeri, ada mahasiswa yang memberanikan diri minta oleh-oleh buku literatur terbitan baru, kemudian sepulangnya pak Sarrtono benar- benar memberikan oleh-oleh buku itu ( buku itu kini masih dimanfaatkan untuk mengajar ).
Pak Sartono yang dikenal oleh para mahasiswanya sebagai dosen yang disiplin dan mahal bila memberikan nilai, serta sangat selektif dalam meluluskan sarjana sejarah. Dalam hal ini pak Sartono pernah menyatakan, bahwa “ Lebih baik meluluskan seekor Singa dari pada meluluskan 10 domba “. Salah seorang mahasiswanya pun tergelitik kemudian menanggapi dengan mengatakan ”Bagaimana kalau Singa-nya itu ompong pak, kan 10 domba masih dapat berfungsi dari pada singa ompomg “. Jawab Pak Sartono, ” meski Singa itu ompong, 10 domba tidak akan jadi Singa, dan takut pada Singa”. Kalau begitu perlu menghasilkan singa-singa yang masih tegar dan segar!, seloroh para mahasiswanya. Dalam hal ini Pak Sartono mengutamakan kwalitas lulusan dari pada kwantitas lulusan.
Pengalaman ujian mata kuliah Teori, Metodologi, dan Historiografi yang diasuh oleh Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, memang unik, pada waktu itu dilakukan ujian campuran, yaitu ujian lisan, ujian tertulis, dan ujian dengan membuat makalah. Kejadian yang unik pada ujian lisan, yaitu satu persatu di uji di ruang kerja Pak Sartono, yang diujikan adalah materi pokok dan wawasan mahasiswa terhadap materi (diajak berdiskusi ), serta ditanyakan juga tentang identitas buku ( warna kulit buku, jumlah bab halaman, dan sebagainya ). Untuk ujian lisan, hasilnya langsung diumumnkan, bila lulus dinyatakan bebas, bila gagal diminta siap minggu depannya lagi menghadap untuk ujian, dalam hal ini amat sangat jarang yang sekali dapat lulus. Kejadian yang menarik pula dalam ujian tulis, pada waktu itu kebetulan Pak Sartono sedang sakit, menugasi putrinya untuk menunggu ujian, ada suatu kejadian, yaitu ketika seorang mahasiswa pinjam tip-ex pada teman ujian disebelah, kemudian mendapat peringatan pengawas ujian, dan peringatan itu dijawab dengan mengatakan, ”Mohon ma’af bu dosen”, semua yang ujian pada ketawa, rupanya permohonan maaf itu menjadikan tidak berkenan, sehingga ujian ditinggalkan oleh penunggunya. Sebagai akibatnya adalah ketika hasil ujian itu diumumkan, semua peserta ujian 7 orang itu tidak ada yang lulus. Selanjutnya ujian diulang dengan ujian secara lisan, ke 7 mahasiswa itu belajar bersama dengan sungguh-sungguh, dan hasilnya lumayan, seluruhnya lulus.
Pengalaman lain, ketika diadakan ujian Historiografi dengan membuat makalah, seorang mahasiswa kebingungan, kemudian berkonsultasi dengan Pak Sartono, ”Bolehkah saya buat kompilasi pemikiran Historiografi ?”, dan dibolehkan, mahasiswa itu pun kemudian langsung pinjam buku-buku literatur tentang itu, yang jumlahnya 12 buku, dan dengan senang hati Pak Sartono meminjamkan. Makalah hasil kompilasi untuk ujian itu oleh mahasiswanya, kemudian dijadikan buku tipis dengan judul Catatan Singkat tentang Historiografi ( 1987 ).
Memang pada awal pertemuan kuliah dengan Pak Sartono merasakan berat, tutur bahasa yang tidak mudah dipahami, literatur khususnya karya Pak Sartono pun bila bibaca setelah 3X baru dapat dimengerti, banyak disibukkan dengan tugas-tugas, dan penilaian-nya pun sangat berkualitas karena mahalnya. Namun, para mahasiswa puas, lega, dan merasa bangga dapat mengikuti kuliah Pak Sartono. Keilmuan pak Sartono itu ibarat kelapa mengandung santan yang berkualitas, semakin diperas semakin mengalir santannya. Oleh karena itu, baik di dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan, semakin banyak ditanya, semakin keluar ilmunya, berbahagialah bagi yang sering bertanya tentang ilmu pada Pak Sartono. Untuk memuaskan muridnya, ia pun sering menunjukkan buku-buku dalam menjawab pertanyaan, dan merangsang para muridnya untuk membaca buku yang ditunjukkan itu. Dalam perjumpaan selanjutnya ia pun balik menanyakan, bagaimana dengan buku yang telah dibacanya ?.
Pak Sartono Kartodirdjo senang pada murid yang berani bertanya baik di kelas maupun di luar kelas dan juga pada murid yang mau bekerja keras. Suatu saat ada seorang murid di samping kuliah juga bekerja, karena sudah berkeluarga, dari hati ke hati ditanya bagaimana cara membagi waktunya?. Ketika mendapatkan jawaban bahwa pekerjaannya itu kurang mendukung studi muridnya, maka ditawarkan agar muridnya dapat membantu sebagai asisten peneliti di kantor yang dipimpinnya yaitu Lembaga Pedesaan dan Kawasan UGM, dengan harapan mempermudah dan mendukung gairah studinya. Ternyata murid yang dimninta kerja di kantornya cukup banyak, dan benar-benar dapat sukses, baik dalam berumah tangga dan juga sukses dalam studinya.
Kepada para murid yang baru lulus baik di tingkat S1 –S2 maupun S3, pak Sartono selalu berpesan, bahwa “Janganlah anda seperti pohon pisang, hanya berbuah satu kali kemudian mati !”. Artinya jangan hanya puas jadi sarjana, namun harus dibuktikan dengan terus berkarya, baik meneliti, menulis, dan apa saja untuk masyarakat dan bangsanya.
II
Kata shohibul hikayat, pak Sartono itu orangnya jujur dan amanah dalam kerja sebagai pendidik maupun sebagai menejer di kantornya. Seluruh beaya proyek dan hasil penelitian, serta suatu kepanitiaan harus dapat dipertanggung jawabkan. Saking hati-hatinya bila ada peneliti yang naik becak, harus dicatat pengeluarannya dan nomor becaknya, bila beli perlengkapan di pasar harus ada nota meski tulis tangan dan cap ada jempol dari bakulnya. Bila dana penelitian yang sudah dianggarkan masih sisa, maka berapapun sisanya harus dikembalikan ( pada hal di zaman Orde Baru setiap mata anggaran harus habis, bila tidak habis, maka anggaran berikutnya akan dikurangi ). Namun, pak Sartono tidak mau berbuat yang demikian, karena ia punya prinsip, yang penting berbuat jujur apa adanya, yang dimulai dari diri kita, itulah tanggung jawab kita !. Prinsip dan sikap pak Sartono itu secara langsung mendidik dalam praktek bagi murid-murid dan lingkungan kerjanya.
Sebagai cendikiawan, Pak Sartono tidak mau didekte oleh penguasa. Bila ada order penelitian yang bersifat mendekte hasilnya, maka pasti ditolak oleh Pak Sartono. Ia punya prinsip, bahwa penelitian itu dilakukan sesuai dengan prosedur-metodologinya, sedangkan hasilnya berdasarkan dari realitas temuan yang diteliti atau dikaji. Memang kantornya berkecimpung dalam penelitian, namun ketika dipegang oleh Pak Sartono, sangat selektif dan mencerminkan sifat independensinya.
Pada saat Pak Sartono diminta memimpin penulisan Sejarah Nasional Indonesia, sebagai seorang sejarawan iapun terima dengan senang hati, namun ketika pemerintah mulai akan ikut campur intevensi, maka dengan tegas pak Sartono beserta para sejarawan koleganya, antara lain pak Taufik Abdullah dan pak Abdurrahman Suryamiharja , mengundurkan diri dari panitia penulisan itu.
Pak Sartono selalu mengikuti perkembangan Ilmu Sejarah baik di Indonesia maupun di manca negara. Boleh dikatakan hampir setiap ada seminar sejarah, pak Sartono ikut aktif di dalamnya, dan memberikan pencerahan bagi para sejarawan. Oleh karena itu, ketika di Jakarta digelar Konggres Sejarah Nasional dan Seminar Sejarah Nasional ke 8, di bulan November 2006, Pak Sartono dalam keadaan sakit di Panti Rapih. Ketika kami pamit, pak Sartono mbrebes mili merasa kecewa berat tidak dapat mengikuti seminar itu, dan ia pun kirim salam pada para koleganya, dan mengucapkan selamat berseminar. Dalam konggres sejarah itu Pak Sartono mendapatkan penghargaan yang diterimakan pada muridnya, yaitu Pak Djoko Suryo. Sepulang dari seminar, kamipun menengok kembali Pak Sartono, ia menceriterakan selalu bermimpi mengikuti seminar dan bertemu dengan koleganya.
Walau dalam keadaan sakit, pak Sartono masih memikirkan perkembangan ilmu sejarah, dan selalu bertanya pada muridnya “ Apakah masih terus menulis ? “, dan bila ada muridnya yang menghadiahkan buku karyanya, Pak Sartono tampak senang dan kemudian menyatakan “ Turuskan dan jangan berhenti !”.
III
Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, MA, adalah seorang pemikir, ilmuwan-intelektual dalam bidang Ilmu Sejarah pada khususnya, dan juga dalam bidang Ilmu Sosial serta Humaniora. Ia sangat terkenal baik di tingkat nasional maupun ditingkat Indernasional. Ia sangat berjasa sebagai peletak dasar-dasar kajian sejarah kritis, sebagai pembaharu dalam kajian Ilmu Sejarah di Indonesia. Pak Sartono yang mulai mengubah dan memperkenalkan sudut-pandang dalam penulisan Sejarah Indonesia, dari sudut pandang Neerlando-sentrisme/ Eropa-sentrisme diubah menjadi sudut pandang Indonesia-sentrisme. Dalam hal ini, mengubah sudut pandang sejarah dari yang lebih menempatkan bangsa Belanda atau Eropa berperan di panggung sejarah Indonesia, diubah dengan mendudukkan peran bangsa Indonesia sebagai pelaku utama yang berkiprah dalam panggung Sejarah Indonesia. Jadi, Sejarah Indonesia bukan merupakan kepanjangan atau subordinat dari sejarah bangsa Eropa, namun bangsa Indonesia punya sejarahnya sendiri.
Selain itu, Pak Sartono juga membuka dan memberikan pencerahan, bahwa pentingnya dalam Ilmu Sejarah digunakan pendekatan multi-demensional dan interdisipliner, dalam rangka untuk membantu penjelasan sejarah. Dengan demikian rekonstruksi sejarah dapat mendekati kejadian yang sebenarnya. Dalam hal ini, penulisan sejarah tidak hanya terfokus pada orang-orang besar, dan atau negara, namun dalam rekonstruksi sejarah yang ditulis oleh Pak Sartono juga memperhatikan dan melibatkan peranan “wong cilik” yang ada di dalamnya. Disertasi yang menghantarkan pak Sartono mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude dalam Ilmu Sejarah (Amsterdam, 1 November 1966) adalah The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia, di dalamnya mengungkapkan pemberontakan wong cilik yaitu Petani di Banten yang dipimpin oleh para ulama diantaranya KH Wasid. Dalam disertasi itu digunakan pula pendekatan multi-demensiaonal, terutama konsep-konsep ilmu sosial.
IV
Prof.Dr. Djoko Suryo, salah seorang murid setia Pak Sartono ( sekarang menjadi sesepuh Jurusan Sejarah FIB UGM ), menuturkan dalam kata pengantar buku Membuka Pintu Bagi Masa Depan; Biografi Sartono Kartodirdjo, karya Nursyam, bahwa perkembangan kehidupan pak Sartono melalui tiga kisaran, pertama ketika mengalami pergeseran kehidupan dari lingkungan pendidikan sekolah umum di pedesaan ( MULO, di Surakarta ) ke lingkungan sekolah keagamaan Katholik ( calon bruder , di HIK Muntilan ). Kisaran kedua, ketika Pak Sartono mengalami pergeseran kehidupan dari lingkungan kerohanian ( kebiaraan ) ke lingkunganmasusia biasa, yaitu menjadi guru sekolah umum, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai SMA. Pak Sartono kemudian juga menikah sebagai “Pengantin Revolusi”, dan menjalani hidup berumah tangga. Kisaran yang ketiga, pada saat Pak Sartono memilih berkecimpung dalam studi lanjutnya pada bidang Ilmu Sejarah ( di Yale Amerika Serikat dan di Amsterdam, Negeri Belanda ). Dari pendidikannya itu, menghantarkan Pak Sartono mencapai tataran yang tertinggi, yaitu sebagai Guru Besar dalam Ilmu Sejarah, sampai akhir hayatnya ( pada tanggal 7 Desember 2007 ), dalam usia 86 tahun.
Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, adalah Begawan Sejarah yang handal, sebagai sosok manusia yang berkarakter, sebagai pendidik yang tekun dan berdedikasi tinggi menghantarkan murid-muridnya untuk membuka pintu bagi masa depan. Pak Sartono dikenal teguh dalam pendirian, dan jujur dalam perjalanan hidupnya. Ia sebagai kepala keluarga yang penuh cinta kasih dalam membina rumah tangganya.
Selamat jalan Pak Sartono, dalam menghadap keharibaan Yang Maha Kuasa, beristirahat dengan tenang dan damai
Kini tinggalah satu harapan, yaitu lahirnya Sartono –Sartono baru.
Semoga.
Jogjakarta, 13 Maret 2008
AHMAD ADABY DARBAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar