Kamis, 30 April 2009

PEREBUTAN LADANG MINYAK DI INDONESIA; OLEH KOLONIALISME BARAT DAN TIMUR

Bedah Buku :

TARAKAN “ PEARL HARBOR” INDONESIA ( 1942-1945 )


Penulis : Iwan Santosa

Penerbit : PT. Primamedia Pustaka

Kota Terbit : Jakarta

Tahun : Mei, 2005, terbit pertama

Halaman : 190 halaman, ber-indeks

Dibedah oleh: Ahmad Adaby Darban, Drs.,S.U.

********************************************************************************************

Perang dunia kedua yang mulai pecah pada tangal 1 September 1939, yaitu ketika Jerman mulai menginvasi Polandia, ternyata tidak hanya persoalan politik, didalamnya juga megandung persoalan ekonomi khususnya “berebut Ladang Minyak Bumi”. Negara-negara yang sok “adidaya-adikuasa” saling berusaha untuk menguasai ladang-ladang minyak yang berada di negara-negara lain yang bukan miliknya.

Saudara Iwan Santosa , telah menyajikan dengan menarik tentang pertempuran Tarakan antara tahun 1942-1945,yang di dalamnya tidak terlepas dari persoalan perebutan sumber minyak bumi, sebagai “Pearl Harbor” pintu gerbang yang amat penting bagi masuknya pendudukan Jepang ke kepulauan Indonesia, dan awal runtuhnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Dengan kata lain Tarakan sebagai kunci strategis dalam rangka Jepang menguasai wilayah kepulauan Indonesia, dan merupakan “ajang pertempuran” kaum kolonialis Barat ( Belanda-Australia-Amerika ) maupun Tiimur ( Jepang ) dalam berebut ladang minyak bumi ( hlm. 1-2 dan 11-13 )

Kami menghargai saudara Iwan Santosa penulis buku ini, meskipun bukan sejarawan, namun naluri kesadaran sejarahnya tinggi. Terbukti melalui tulisannya ini berhasil mengungkap peristiwa sejarah yang banyak terlupakan dalam khazanah penulisan sejarah Indonesia. Karya ini punya makna pula dalam memperkaya dinamika penulisan sejarah di Indonesia.

Kisah dalam buku ini disajikan dalam VI bab, dilengkapi pengantar penulis, sambutan dari Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Chappy Hakim, dan Walikota Tarakan dr. H. Jusuf Serang Kasim. Selain itu dilengkapi pula daftar pustaka dan indeks, serta gambar – foto – tabel dan peta, sehingga sangat menarik, namun sayangnya daftar sumber lisan ( para pelaku dan penyaksi peristiwa ini yang diwawancarai ) tidak ditampilkan.

Dalam tulisan bedah buku ini dicoba untuk ditampilkan beberapa kisah peristiwa secara fragmental yang diangap penting dan menarik ( hanya sebagian kecil saja), yaitu antara lain :

Pertama, penyerbuan Tarakan sebagai “Pearl Harbor”-nya Indonesia merupakan peristiwa yang termasuk rangkaian Perang Dunia (PD) II. Peristiwa ini penting karena terjadi 2 kali pertempuran besar, yang digambarkan bagai neraka yang menelan banyak korban. Pertempuran pertama, ketika Jepang mengalami kegagalan untuk menduduki dan menguasai sumber minyak di Mongolia yang berbatasan dengan Rusia, maka mengalihkan programnya ke Selatan. Sebagai sumber minyak kawasan Indonesia yang paling strategis, terdekat dari Jepang, dan mutunya baik “world purest oil” dan menghasilkan 6.000.000 barel dalam setehunnya. ( dari Amsterdam Effectenblad, 1932 ). Pada tanggal 11 Januari 1942 dini-hari Jepang menyerbu Tarakan, dengan lebih kurang 20.000 tentara kekaisaran Jepang yang menggunakan pesawat terbang Pemburu Zero berhasil mengunguli pesawat Belanda Bomber Glenn Martin, dan Elit Angkatan Laut Jepang ( Pasukan Kure ) berhasil menguasai pantai Tarakan.

Setelah Belanda merasa terus dikalahkan, maka Overstee S. de Wall mengambil kebijakan untuk “Membumihanguskan Tarakan “ dengan merusak dan membakar peralatan ladang minyak, dengan maksud agar Jepang tidak mendapat apa-apa dari kemenangannya itu. (hlm. 20-22).

Perlawanan Belanda yang hanya dengan 1300 tentara (Batalyon VII KNIL ) di bawah pimpinan Overstee S de Wall segera menyerah pada Kolonel Kyohei Yamamoto, dengan mengibarkan bendera putih. (hlm. 24-25). Pada hal sebelum serangan Pearl Harbor, Tarakan juga sebagai pelabuhan transit penting dari kapal – kapal Angkatan Laut AS ( US Asiatic Fleet, di bawah Laksamana Thomas Hart ).

Sejak itulah Tarakan berpindah tangan dari penguasa kolonial Belanda ke tangan kekuasan kolonial Jepang. Semangat Jibaku dan Bushido jepang, dengan pekik “Banzai Nichisei Hokoku ! (Hidup kaisar dan tujuh nyawa musuh untuk Kaisar ) mewarnai peperangan yang memakan banyak korban.Dari Tarakan, Jepang meneruskan pendudukannya ke berbagai pulau di Indonesia, dan mengambil alih kekuasaan dari Belanda, juga menguasai sumber-sumber minyak di Indonesia. Mulailah era penjajahan Jepang di kepulauan Indonesia, meskipun tidak lama ( lebih kurang 3 ,5 tahun ), namun rakyat merasakan penderitaan yang berat, kemiskinan, penyiksaan, dan banyak korban kematian.

Sebagai bukti bahwa Jepang juga punya tujuan penguasaan sumber minyak bumi ialah, begitu menang dan menguasai Tarakan, kemudian membentuk Satuan Tugas Minyak yang diberi nama Nampo Nen Rioso Butai di bawah komando Jendral Yamada. Ia mendapat tugas khusus untuk mengekploitasi minyak di Tarakan untuk kepentingan perang, dengan mengerahkan 250 personel teknik Angkatan Laut yang ahli dalam pertambangan (hlm.38-40)

Kemenangan Jepang di Tarakan tidaklah berlangsung lama, mulai tahun 1943 terjadi arus balik, kubu Sekutu mulai dapat menguasai satu-persatu daerah yang direbut Jepang. Dari pulau Morotai di Maluku Utara, Jendral Douglas MacArthur (sebagai Panglima Sekutu di Pasifik Barat Dayaรจ memerintahkan Brigade 26 dari Divisi ke 9 beserta Divisi 7 dan 9 Australia untuk merebut kembali sumber-sumber minyak di Kalimantan, dan sebagai serangan pertama dan utama ditujukan pada Tarakan.

Kedua, merupakan proses arus balik perang perebutan ladang-ladang minyak yang dikuasi Jepang oleh pihak Sekutu. Pada tanggal 1 Mei 1945 Tarakan mulai digempur oleh pasukan Sekutu, dengan target 7 hari dapat dikuasai. Namun, ternyata meleset hingga sampai 2 bulan terjadi pertempuran berdarah di Tarakan, yang berhadapan antara tentara Jepang melawan Australia dari Australian Imperial Force (AIF) yang diutus oleh Sekutu. (hlm. 67 – 70 ).

Jendral Mac Arthur dengan penuh semangat memerintahkan bombardir ke Tarakan, untuk mendahului serangan Brigade Australia ke 26 yang akan didaratkan ke Tarakan.(hlm. 68-69) Peristiwa inilah dikenal sebagai permulaan serangan merebut Tarakan. Meskipun Jepang melawan, namun mengalami kekalahan, karena tinggal 2000 pasukan Jepang harus melawan 20.000 tentara Sekutu yang kebanyakan dari Australia. Sambil bertahan di bunker-bunker, sebagian besar tentara Jepang mundur ke hutan dan gunung. Bombardir dari Sekutu yang dihujankan selama 4 hari itu, sangat membantu memperlancar pendaratan tentara Australia.

Tentara Australia Unjuk Gigi di Tarakan, dengan perlindungan pesawat tempur B-24 Liberator dan B-25 Mitchell mereka lancar mendarat di pantai Tarakan. Dari pantai Lingkas terus mendesak ke daratan sampai gunung-gunung ( kemudian gunung itu diberi nama Faith, Hope, dan Charity. Dari sini kemudian menuju King Cross pusat kota Tarakan.(hlm. 84-87). Pertempuran sengit terjadi di Peningki Baru pinggir kota Tarakan, pasukan Australia banyak terhambat, bahkan komandan seksinya tertembak. Kemenangan berada di pihak Australia, bahkan jugha beruntung mendapatkan peta perminyakan Tarakan buatan Belanda, yang isinya lebih lengkap dari peta lain. Untuk menghibur tentara Australia di Tarakab, maka dibentuklah surat kabar The Tarakan Times, sebagai hiburan orang-orang Australia yang sedang menduduki, kemungkinan merupakan surat kabar tertua. Walaupun sebagaian Tarakan telah dikuasai oleh Australia, namun kota ini belum juga tentram, karena pihak Jepang masih terus nengadakan perlawanan.

Penulis juga mengkishkan, bahwa kota Tarakan yang talah jatuh ke tangan tentara Australia itu , kemudian oleh endudukan Australia itu dijadikan “Kota Australia”, dijadiakan bagian dari negaranya. Australianisasi ini berlangsung dengan indikator antara lain: Menggati nama-nama Melayu dengan nama-nama yang dikenal di Australia, nama-nama jalan, perbukitan, sungai-sungai, dan juga pelabuhan udara Juata diganti dengan Croydon, dengan jalannya bernama Anzac Highway.(hlm. 99-100 ).

Ketiga, Tarakan sebagai bagian dari Negara RI punya makna yang penting bagi

bangsa Indonesia, oleh karena itu jangan dilupakan. Sejarah mencatat, Tarakan sebagai penghasil minyak yang sangat penting hingga jadi rebutan dunia dan penyumbang devisa negara RI setelah merdeka. Pada awal kemerdekaan Tarakan merupakan penyumbang devisa dari minyak buminya, yang selalu disedot hasilnya untuk Jakarta ( penghisapan daerah oleh pusat )(hlm. 173-175), dan juga memberikan kekayan pada kaum kapitalis dunia yang masih minta bagian dari hasil minyak Tarakan.

Sesungguhnya keberadaan Industri minyak di Tarakan dan sejarah peperangan yang pernah terjadi, dapat dipetik menjadi pelajaran tentang ketidakmampuan memanfaatkan potensi lokal di sebuah negara berkembang,sebagai modal lebih lanjut bagi pembangunan. Namun perlu diingat, bahwa penduduk Tarakan, seperti halnya masyarakat daerah lain penghasil mineral di Indonesia, jangan diterlantarkan begitu saja dalam tatanan pemerintahan yang sentralistik, dan hanya menjadi penonton kemajuan negara jiran yang ada didepan matanya.(hlm.176) . Di era reformasi yang telah diputuskan untuk mengembangkan otonomi daerah, sudah selayaknya Tarakan punya otonomi untuk dapat menikmati dan mensyukuri hasil sumber dari daerahnya, dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan mensejahetrakan kehidupan masyarakatnya.

Penutup, buku ini merupakan bunga rampai tentang perjalanan kota Tarakan pada zaman kolonial, baik Belanda, Jepang, Autralia, sampai dengan zaman kemerdekaan. Sesuai dengan judulnya, buku ini lebih cenderung banyak mengupas peperangan.

Meskipun nuansa kisah sejarahnya kuat, buku ini lebih cenderung sebagai karya jurnalistik yang baik, dengan mengunakan fakta-fakta sejarah, diramu dengan bebagai pandangan, dan disampaikan dengan retorika serta narasi jurnalis yang menarik. Gambar-gambar dokumentasi tokoh-tokoh perang, mesin perang, dan peta perang, memberikan illustrasi yang mendukung narasi, sehingga para pembaca akan lebih mantab. Oleh karena itu, khususnya warga Tarakan amat sangat baik bila dapat mudah memperoleh buku ini, dan membacanya.

Dengan munculnya buku ini, seharusnya mampu menggelitik para sejarawan untuk menulis lebih lanjut, dengan mengunakan sumber jejak-jejak sejarah yang masih ada, kemudian digarap dengan metode sejarah. Dengan demikian diharapkan dapat muncul Sejarah Tarakan lebih lanjut.

Ahmad Adaby Darban.

Jumat, 03 April 2009

FRAGMENTA SEJARAH MUHAMMADIYAH

FRAGMENTA LINTASAN GERAKAN
MUHAMMADIYAH
Dari Masa ke Masa

Oleh: Ahmad Adaby Darban

I
MUQADIMAH

Mengkisahkan dinamika gerakan Muhammadiyah dari masa ke masa tidaklah mudah, dan relatif akan memakan waktu yang panjang, karena Muhammadiyah memiliki aktivitas yang kontinyu dan berkesinambungan. Di samping itu ada beberapa dokumen yang menjadi fakta sejarah sudah hilang (sukar ditemukan). Oleh karena itu tulisan pendek ini hanya bentuk fragmen-fragmen yang dianggap penting dan memiliki peranan dalam dinamika perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa.
Sebelum mengisahkan perjuangan Muhammadiyah dari masa ke masa, terlebih dahulu kiranya perlu diketahui “Apakah Muhammadiyah itu?”. Pertanyaan ini muncul karena di dalam literature asing sering muncul istilah Muhammedanism (untuk menyebut agama Islam). Muhammadiyah bukan terjemahan dari nama Muhammedanism (agama/paham Muhammad), Muhammadiyah bukan nama sekte (aliran) dalam Islam, dan Muhammadiyah pun bukan tariqad. Awal didirikan, Muhammadiyah adalah berbentuk persyarikatan atau organisasi yang bersifat sebagai gerakan Islam, bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya, adil, dan makmur yang diridhoi Allah SWt. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah memiliki kesadaran intelektual, bahwa dipilihnya nama Muhammadiyah mengandung cita-cita agar gerakannya benar-benar mengikuti (ittiba’) pada perjuangan Nabi Muhammad SAW, yang ditunjuk oleh Allah SWT sebagai “USWATUN HASANAH” bagi kita semua (Q.S. Al Ahdzab:21)
Dalam gerakannya Muhammadiyah melakukan “AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR”. Semenjak lahir, Muhammadiyah lebih mengutamakan kiprah kegiatanya dalam bidang keagamaan, sosial dan kebudayaan, serta tidak menjadikan dirinya sebagai kegiatan politik praktis (partai). Beberapa bidang garap Muhammadiyah antara lain : Pamurnian dalam kehidupan Islami, pelurusan dalam ibadah mahdhoh, pembaharuan dalam metode beramaliyah duniawiyah. Selain itu Muhammadiayah mengupayakan peningkatan Kualitas kehidupan umat, kesejahteraan masyatrakat, menolong kesengsaraan umat, dan membentuk peradaban yang Rahmat Lil Alamien.

II
PROSES BERDIRINYA MUHAMMADIYAH

Lahirnya Muhammadiyah tidak terlepas dari dinamika sejarah, perkembangan Islam di dunia padda umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Oleh kerena itu, dalam mengamati proses lahirnya Muhammadiyah tidaklah ditinggalkan adanya pengaruh dari kehidupan umat Islam di dunia, dan juga di Indonesia.
1. Faktor Subyektif
Sebagai faktor penentu utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pengetahuan, penelitian yang mendalam yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan terhadap AL Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Pengkajian yang kritis dan aplikatif, menyentuh fakir dan nuraninya, sehingga memiliki “krenteg” untuk mewujudkan dalam sebuah pergerakan yang bersifat amaliah. Inspirasi dari kajiannya, terutama ayat-ayat dalam : S. An Nisa’ : 82, S. Muhammad : 24, dan S. Ali Imron : 104, mendorong semangat Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah persyarekatan, organisasi yang teratur rapi, untuk melaksanakan missi da’wah Islam, amar ma’ruf nahi munkar dalam masyarakat yang dihadapinya. Selain itu, adanya keprihatinan Ahmad Dahlan terhadap kehidupan umat Islam, baik pada kehidupan sosial-ekonomi-pendidikan maupun juga pada bidang pengamalan kehidupan Islamnya.

2. Faktor Obyektif
Adapun yang menjadi sebab obyektif mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah, pertama kehidupan internal masyarakat Islam di Indonesia, dan yang kedua kehidupan masyarakat Islam di dunia internasional. Kedua factor obyektif itu juga sangat mempengaruhi Muhammadiyah berdiri.
a. Bangkitnya kesadaran masyarakat di dunia Islam akan kejumudan, dan penyimpangan terhadap ajaran Islam, serta ketidakberdayaan menghadapi kedloliman penjajahan (kroposnya semangat Jihad). Bangkitnya kesadaran itu muncul diantaranya dari :
Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263 – 1328 M), salah satu ulama terkenal dan berani mengingatkan para pemimpin negara. Pemikirannya yang terkenal antara lain : Membuka kembali cakrawala IJTIHAD; Memperjuangkan pemurnian dalam Aqidah & Syari’ah/Ibadah mahdhoh, dengan berpedoman pada Al Qur’an & Sunnah Rosulullah; dan Menggelorakan semangat memperjuangkan keadilan & kebenaran, melawan segala bentuk kedloliman kitabnya FiqusSyiyasah (Fikih Politik) yang fatw-fatwanya banyak digunakan untuk melawan penjajahan. Ulama ini wafat dalam penjara, kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh muridnya Ibnu Qoyyim Al Jauzie.


Muhammad Ibnu Abdul Wahab ( 1703 – 1787 M)
Ulama besar dari Najed, Jazirah Arab ini sebagai pelanjut yang dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah. yaitu pemurnian Islam dalam kehidupan umat Islam, termasuk dalam Aqidah, Syari’ah, dan ibadah, serta gerakan perlawanan terhadap penjajahan yang menindas negeri-negeri umat Islam. Muhammad Ibnu Abdul Wahab mengaktualisasikan gerakannya dengan bentuk “Al Muwahidun” secara revolusioner. Gerakan ini kemudian dikenal dengan “Wahabi”, yang berpengaruh besar di Saudi Arabia, sehingga banyak pula mempengaruhi pada ulama, hujaj yang lama bermukim di Haromain. Gerakan ini merupakan salah satunya yang memberikan inspirasi bagi gerakan pemurnian Islam dan membangkitnya semangat perjuangan bangsa Indonesia (Gerakan Padri di Sumatera Barat 1819 – 1837; Gerakan rifa’iyah 1850 – 1859; kemudian pergerakan di awal abad 20 seperti Muhammadiyah; Jamiatul Khair; Al Irsyad; dan Persatuan Islam). Di samping Muhammad Ibnu Abdul Wahab, masih ada beberapa ulama besar dunia yang memberikan inspirasi bagi lahirnya Muhammadiyah, antara lain : Syeikh Muhammad Abduh; Syeikh Rasyid Rdla (Al Manar); Jamaluddin Al Afghany (Pan Islamisme); dan lain-lainnya.

Ahmad Dahlan telah dua mukim dan belajar serta berhaji di Makah & Madinah, pada kesempatan inilah banyak menyerap pengalaman keagamaan dan ilmu pengetahuan. Selain itu di tanah air Ahmad Dahlan juga berlangganan majalah yang diterbitkan oleh para ulama salaf ini. Dengan demikian, maka pengaruh dan pemikiran yang berkembang di dunia Islam itu, termasuk salah satu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah.

b. Situasi Kehidupan Masyarakat Islam di Tanah Air (Indonesia)
Masyarakat Islam di tanah airnya menghadapi diskriminasi, eksploitasi, dan penindasan oleh pemerintah Kolonial Belanda, sehingga mengalami keterbelakangan sosial-ekonomi, pendidikan/wawasan ilmu pengetahuan, dan politik. Kaum Boemi Poetera (Pribumi/bangsa Indonesia) menduduki kelas terendah dalam struktur kehidupan sosial di Hindia Belanda.

Kehidupan beragama dalam masyarakat mengalami kejumudan, dikarenakan bercampur aduk (sinkretis) antara aqidah Islam dengan kepercayaan Hindu, Budha, dan Animisme/dinamisme. Pelaksanaan Ibadah Mahdhoh banyak menyimpang dari tuntunan Al Qur’an & Sunnah Rasulullah.

Menghadapi situasi kehidupan masyarakat Islam di dalam negeri itu, timbul kesadaran Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya untuk berusaha : pertama, mengadakan emansipasi kehidupan masyarakat Islam, sehingga dapat terangkat sama tingginya dengan kelas masyarakat kolonial. Upaya itu dilakukan dengan memacu intelektualitas masyarakat kolonial. Upaya itu dilakukan dengan memacu intelektualitas masyarakat Islam bangsa Indonesia agar memiliki cakrawala Ilmu Pengetahuan yang setara dengan kaum penjajah. Upaya ini dilakukan dengan mengadakan pembaharuan sistem dan metode pendidikan, serta menyeimbangkan antara pendidikan umum dan agama Islam. Kedua, upaya dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Islam bangsa Indonesia, Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya mengadakan usaha pengentasan kemiskinan (membuat Rumah Miskin, sebagai pusat rehabilitasi/latihan kerja), mendirikan Panti Asuhan Anak Yatim/Piatu. Ketiga berupaya memurnikan Aqidatul Islamiyah dan meluruskan pelaksanaan Ibadah Mahdhoh, sesuai dengan pedoman sumber aslinya, yaitu Al Qur’an & Sunnah Rosul.
Situasi ekstern dan intern itulah, yang banyak mendorong semangat Ahmad Dahlan dan kawan-kawnnya, untuk memperbaiki kehidupan Masyarakat Islam yang mayoritas sebagai kaum Boemi Poetera (Bangsa Indonesia). Maka dapatlah dilihat usaha Ahmad Dahlan membuat gerakan antara lain :
- Gerakan Pembaharuan Pendidikan di kalangan Masyarakat Islam
- Gerakan Pertolongan Kesengsaraan Umat
- Gerakan Pemurnian dan pelurusan dalam Aqidah & Ibadah MAhdhoh
- Gerakan Penanaman cinta Tanah Air dan melawan penjajahan
- Gerakan Tajdid (pembaharuan) dalam metode amaliah duniawiyah

Pada tanggal 1 Desember 1911, diresmikan sekolah pertama pertama yang didirikan oleh Ahmad dahlan, dengan nama Sekolah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang kemudian dikenal dengan “Kyai School”, disetarakan dengan Volkschool (Sekolah Rakyat). Inilah usaha awal mendirikan sekolah modern (dengan bangku, kurikulum, dan perpaduan antara ilmu umum & agama). Sekolah ini kemudian berkembang, berdirinya sekolah-sekolah lainnya dengan memakai lebel Med De Qur’an, seperti Standard School, HIS, MULO, AMS, KWEEKSCHOOL dan sebagainya. Di samping mendirikan sekolah, Ahmad Dahlan juga mendirikan pesantren yang kemudian berkembang menjadi Mu’alimien & Mu’alimat, Zu’ama & Zu’imat, dan sebagainya.
Para guru yang mengajar di “Kyai School” mengusulkan pada Ahmad Dahlan, agar lembaga pendidikan yang dirintis oleh kyai ini terus hidup, maka diperlukan adanya wadah yaitu organisasi yang mengelolanya. Atas hasil perenungan Ahmad Dahlan dan kemudian dimusyawarahkan pada para santri dan muridnya, maka diputuskan mendirikan Persyarekatan Muhammadiyah, pada tanggal 18 November 1912, di kampung Kauman Yogyakarta, (Adapun Besluit baru keluar tanggal 22 Agustus 1914, berupa Besluit G.g. Hindia Belanda “Statuten Moehammadijah), berdirinya Muhammadiyah ini mendapat sokongan Support dari Boedi Oetomo cabang Yogyakarta.
Pada awalnya persyarekatan Muhammadiyah ini dipengaruhi antara lain : H. Syarkawi; h. Hisyam; H. Fahruddin; H. Abdu ghany; H. Suja’; H. Tamim, dan diketuai oleh H. Ahmad Dahlan, serta dibantu oleh para guru lulusan Kweekschool Gubernamen (murid asuhan Ahmad Dahlan). Dalam menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah, Ahmad Dahlan dibantu oleh R. Sosrosugondo (Guru Bahasa Melayu).




III
MUHAMMADIYAH DARI MASA KE MASA

Dalam mengkisahkan perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa, maka akan lebih jelas mengikuti alur periodesasi kepemimpinan Muhammadiyah, tentu saja akan tampak adanya dinamika yang berbeda, menurut latar situasi dalam waktu yang berbeda-beda. Namun, ada yang penting dan perlu diperhatikan ialah, selama 89 tahun Alhamdulillah Muhammadiyah TIDAK PERNAH PECAH, tetap utuh konsiten pada bidang garap dan gerakannya. Catatan singkat perjalanan Muhammadiyah dari masa ke masa dikisahkan sebagai berikut :

1. PERIODE KEPEMIMPINAN KHA DAHLAN (1912 – 1923)

Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis Sekolahan 9pengajaran), Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), ’Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah ”SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam, Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti gerakannya.



2. PERIODE KEPEMIMPINAN KH IBRAHIM (1923 –1932)

Pada periode ini Muhammadiyah mulai berkembang meluas sampai kedaerah-daerah luar Jawa. Perangkat yang dibentuk antara lain : Majelis Tarjih, Nasyi’atul’Aisyiyah dan kemudian Pemuda Muhammadiyah. Adapun Aktivitas yang menonjol antara lain :
Pada tahun 1924 mengadakan ”Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927 pada konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok ”Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak melarang anggotanya berpolitik).
Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool, Normalschool) di benum ke pelosok tanah air, sebagai ”anak panah” Muhammadiyah. Pada Konggres di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman Pustaka). Di konggres ini pula terjadi ”Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh cabang Solo.

3. PERIODE KEPEMIMPINAN KH HISYAM (1932 – 1936)

Periode ini kegiatan pendidikan mendapatkan porsi yang mantap, selain itu pula diadakan penerbitan administrasi organisasi. Pada konggres tahun 1934 lebih dimantapkan pengembangan lembaga pendidikan tingkat menengah dan mengubah sekolah dengan nama Belanda menjadi nama khas kita, seperti : Volkschool menjadi Sekolah Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan pembentukan Majelis Pimpinan Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan ekonomi anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada tahun 1936 diadadkan Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan anatara lain mendirikan sekolah Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah (MPKM) di seluruh cabangdan ranting.

4. PERIODE KEPEMIMPINAN KH MAS MANSYUR (1936 – 1942)

Masa kepemimpinan KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif dan terkenal sikapnya yang istiqomah dan pemberani, sehingga ikut dalam pengisian jiwa gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama yang menjadi garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini memaksimalkan Majelis Tarjih, sehingga menghasilkan ”Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan ibadah). Selain itu menggerakkan Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot, dengan konsepnya yang terkenal ”Langkah Dua belas”nya. Catatan kekiatan yang menonjol saat itu antara lain :
a. Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
b. Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)
c. Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda
d. Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)
e. Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia
f. Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa
g. Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
h. Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)

5. PERIODE KEPEMIMPINAN KI BAGUS HADIKUSUMA (1942 – 1953)

Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).
Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi fisik mempertahankan Republik Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk membela Republik Indonesia dan sebagainya.
Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI, dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain, Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas otonomi Aisyiyah.
Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan peremajaan dilingkungan Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.

6. PERIODE KEPEMIMPINAN A.R. SUTAN MANSYUR (1952 – 1959)

Kepemiminan AR Sutan Mansyur dikenal sebagai masa memperkokoh Ruh Tauhid, yaitu dengan disusunnya Khittah Palembang. Pada periode ini yang penting dicatat sejarah antara lain :
a. Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.
b. Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :
- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,
- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,
- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam
- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan Masjumi.

7. PERIODE KEPEMIMPINAN HM YUNUS ANIS (1959 – 1962)

Pada periode ini situasi negara dalam goncangan sosial politik, sehingga baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada gerak perjuangan Muhammadiyah. Namun HM Yunus Anis mampu membawa Muhammadiyah untuk tetap pada jati dirinya, yaitu tetap menempatkan kedudukannya sebagai Gerakan Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam bidang sosial keagamaan. Selain itu, penataan administrasi Muhammadiyah dibangun dengan baik sebagaimana organisasi modern. Dokumentasi Muhammadiyah mulai dibenahi dan diatur rapi, sehingga memudahkan penulisan dan penelitian dalam Muhammadiyah.
Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip dan penerbitan Muhammadiyah, serta banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.

8. PERIODE KEPEMIMPINAN KHA BADAWI (1962 – 1968)

Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu, menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.
Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963) dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.
Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.

9. PERIODE KEPEMIMPINAN KH FAKIH USMAN / H. AR FAKHRUDIN (1968 – 1971)

Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah “Me-Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid dalam bidang ideologinya dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.

10. PERIODE KEPEMIMPINAN H. AR FAKHRUDIN (1971 – 1990)

Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan kualitas persyarikatan baik pemurnian amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung Pandang 1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta, 1985.
Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan Pancasila sebagai stu-satunya azaz organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan “Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap beraqidah Islam), Muhammadiyah dalam selamat.
Beberapa keputusan penting antara lain :
a. Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.
b. Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
c. Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis.
d. Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.
e. Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.
f. Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip dokumen Muhammadiyah dan penerbitan-penerbitannya.




11. PERIODE KEPEMIMPINAN KH. AHMAD AZHAR BASYIR (1990 – 1995)

Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang Konsolidasi Gerakan, Bidang Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu dijabarkan secara strategis menjadi :
a. Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM, Bimbingan Keagamaan, dan Peningkatan Hubungan Kerjasama.
b. Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian & Pengembangan pemikiran Islam; Penelitian & pengembangan; dan Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.
c. Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan Islam kesehatan; Pengembangan Sosial Kemasyarkaatan; Kebudayaan; Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan General Muda; Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita; Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber daya manusia.

KH Ahmad Azhar Basyir memimpin Muhammadiyah tidak sampai akhir periode, karena Allah SWT. Memanggil untuk menghadap keharibaannNya. Kepemimpinan PP Muhammadiyah periode ini diteruskan oleh Dr. H. Amien Rais (yang sebelumnya sebagai staf ketua).
Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah (periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien Rais mengundurkan diri dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai ketua umum PP Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian tentang Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H. Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien Syamsuddin, belum dapat ditulis dalam makalah ini. Alhamdulillah.

SARTONO KARTODIRDJO; SANG BEGAWAN SEJARAH

SARTONO KARTODIRDJO
BEGAWAN SEJARAH YANG HANDAL DAN BERKARAKTER

OLEH:

ADABY DARBAN

I

Kata yang empunya ceritera, seorang mahasiswa baru , pada Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan, Universitas Gadjah Mada, baru pertama kali mengetahui seorang dosennya yang berkacamata tebal, dan dosen itu baru saja pulang dari manca-negara, memasuki bilik Jurusan Sejarah, kemudian duduk dan baca buku. Ia tahu dari para mahasiswa seniornya kalau dosen Sejarah itu yang bernama Pak Sartono Kartodirdjo, kata para mahasiswa senior itu, bahwa “beliau nanti baru akan mengajar anda di tingkat doktoral”, katanya pula “ untuk bisa lulus dari mata kuliahnya pun perlu ujian berkali-kali”. Memang Pak Sartono kelihatannya angker, karena kewibawaan ilmunya, sehingga para mahasiswa dan para dosen pun penuh hormat kepadanya.
Setelah mahasiswa itu lulus Sarjana Muda (BA), mulailah mengikuti kuliah di tingkat doktoral I dan kemudian doktoral II, di jenjang inilah berkenalan langsung dengan Pak Sartono Kartodirdjo. Begitu masuk kuliah pertama, Pak Sartono menyatakan bahwa “Sebagai calon Sejarawan modalnya adalah, pertama membaca dijadikan hobby, kedua, meneliti dan menulis dijadikan kegemaran; serta yang ketiga, punya keberanian berbicara untuk menyampaikan pemikiran, itu saja baru bekal minimalnya “. Khusus untuk kuliah Pak Sartono, yang meliputi Teori, Metodologi Sejarah, dan Historiografi ini dilaksanakan di ruang sidang Kantor Lembaga Pedesaan & Kawasan UGM, Bulaksumur E-12. Pada kuliah pertama itu sudah diberi sederet daftar buku yang wajib dibaca, dan pada setiap perkuliahan akan di cek tentang buku apa yang telah dibaca dengan menunjukkan buktI resume hasil bacanya, kemudian didiskusikan. Oleh karena jumlah mahasiswa doktoral itu hanya 7 orang, semuanya akan mudah diamati dan dikontrol, sehingga mahasiswanya harus siap betul, kalau tidak siap lebih baik tidak masuk dengan cari-cari alasan yang masuk akal.
Meskipun mengetrapkan disiplin dalam belajar, pak Sartono juga sembodo bermurah hati selalu meminjamkan buku-buku literaturnya pada mahasiswa. Bahkan ketika Pak Sartono akan pergi ke luar-negeri, ada mahasiswa yang memberanikan diri minta oleh-oleh buku literatur terbitan baru, kemudian sepulangnya pak Sarrtono benar- benar memberikan oleh-oleh buku itu ( buku itu kini masih dimanfaatkan untuk mengajar ).

Pak Sartono yang dikenal oleh para mahasiswanya sebagai dosen yang disiplin dan mahal bila memberikan nilai, serta sangat selektif dalam meluluskan sarjana sejarah. Dalam hal ini pak Sartono pernah menyatakan, bahwa “ Lebih baik meluluskan seekor Singa dari pada meluluskan 10 domba “. Salah seorang mahasiswanya pun tergelitik kemudian menanggapi dengan mengatakan ”Bagaimana kalau Singa-nya itu ompong pak, kan 10 domba masih dapat berfungsi dari pada singa ompomg “. Jawab Pak Sartono, ” meski Singa itu ompong, 10 domba tidak akan jadi Singa, dan takut pada Singa”. Kalau begitu perlu menghasilkan singa-singa yang masih tegar dan segar!, seloroh para mahasiswanya. Dalam hal ini Pak Sartono mengutamakan kwalitas lulusan dari pada kwantitas lulusan.

Pengalaman ujian mata kuliah Teori, Metodologi, dan Historiografi yang diasuh oleh Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, memang unik, pada waktu itu dilakukan ujian campuran, yaitu ujian lisan, ujian tertulis, dan ujian dengan membuat makalah. Kejadian yang unik pada ujian lisan, yaitu satu persatu di uji di ruang kerja Pak Sartono, yang diujikan adalah materi pokok dan wawasan mahasiswa terhadap materi (diajak berdiskusi ), serta ditanyakan juga tentang identitas buku ( warna kulit buku, jumlah bab halaman, dan sebagainya ). Untuk ujian lisan, hasilnya langsung diumumnkan, bila lulus dinyatakan bebas, bila gagal diminta siap minggu depannya lagi menghadap untuk ujian, dalam hal ini amat sangat jarang yang sekali dapat lulus. Kejadian yang menarik pula dalam ujian tulis, pada waktu itu kebetulan Pak Sartono sedang sakit, menugasi putrinya untuk menunggu ujian, ada suatu kejadian, yaitu ketika seorang mahasiswa pinjam tip-ex pada teman ujian disebelah, kemudian mendapat peringatan pengawas ujian, dan peringatan itu dijawab dengan mengatakan, ”Mohon ma’af bu dosen”, semua yang ujian pada ketawa, rupanya permohonan maaf itu menjadikan tidak berkenan, sehingga ujian ditinggalkan oleh penunggunya. Sebagai akibatnya adalah ketika hasil ujian itu diumumkan, semua peserta ujian 7 orang itu tidak ada yang lulus. Selanjutnya ujian diulang dengan ujian secara lisan, ke 7 mahasiswa itu belajar bersama dengan sungguh-sungguh, dan hasilnya lumayan, seluruhnya lulus.

Pengalaman lain, ketika diadakan ujian Historiografi dengan membuat makalah, seorang mahasiswa kebingungan, kemudian berkonsultasi dengan Pak Sartono, ”Bolehkah saya buat kompilasi pemikiran Historiografi ?”, dan dibolehkan, mahasiswa itu pun kemudian langsung pinjam buku-buku literatur tentang itu, yang jumlahnya 12 buku, dan dengan senang hati Pak Sartono meminjamkan. Makalah hasil kompilasi untuk ujian itu oleh mahasiswanya, kemudian dijadikan buku tipis dengan judul Catatan Singkat tentang Historiografi ( 1987 ).

Memang pada awal pertemuan kuliah dengan Pak Sartono merasakan berat, tutur bahasa yang tidak mudah dipahami, literatur khususnya karya Pak Sartono pun bila bibaca setelah 3X baru dapat dimengerti, banyak disibukkan dengan tugas-tugas, dan penilaian-nya pun sangat berkualitas karena mahalnya. Namun, para mahasiswa puas, lega, dan merasa bangga dapat mengikuti kuliah Pak Sartono. Keilmuan pak Sartono itu ibarat kelapa mengandung santan yang berkualitas, semakin diperas semakin mengalir santannya. Oleh karena itu, baik di dalam perkuliahan maupun diluar perkuliahan, semakin banyak ditanya, semakin keluar ilmunya, berbahagialah bagi yang sering bertanya tentang ilmu pada Pak Sartono. Untuk memuaskan muridnya, ia pun sering menunjukkan buku-buku dalam menjawab pertanyaan, dan merangsang para muridnya untuk membaca buku yang ditunjukkan itu. Dalam perjumpaan selanjutnya ia pun balik menanyakan, bagaimana dengan buku yang telah dibacanya ?.

Pak Sartono Kartodirdjo senang pada murid yang berani bertanya baik di kelas maupun di luar kelas dan juga pada murid yang mau bekerja keras. Suatu saat ada seorang murid di samping kuliah juga bekerja, karena sudah berkeluarga, dari hati ke hati ditanya bagaimana cara membagi waktunya?. Ketika mendapatkan jawaban bahwa pekerjaannya itu kurang mendukung studi muridnya, maka ditawarkan agar muridnya dapat membantu sebagai asisten peneliti di kantor yang dipimpinnya yaitu Lembaga Pedesaan dan Kawasan UGM, dengan harapan mempermudah dan mendukung gairah studinya. Ternyata murid yang dimninta kerja di kantornya cukup banyak, dan benar-benar dapat sukses, baik dalam berumah tangga dan juga sukses dalam studinya.

Kepada para murid yang baru lulus baik di tingkat S1 –S2 maupun S3, pak Sartono selalu berpesan, bahwa “Janganlah anda seperti pohon pisang, hanya berbuah satu kali kemudian mati !”. Artinya jangan hanya puas jadi sarjana, namun harus dibuktikan dengan terus berkarya, baik meneliti, menulis, dan apa saja untuk masyarakat dan bangsanya.


II

Kata shohibul hikayat, pak Sartono itu orangnya jujur dan amanah dalam kerja sebagai pendidik maupun sebagai menejer di kantornya. Seluruh beaya proyek dan hasil penelitian, serta suatu kepanitiaan harus dapat dipertanggung jawabkan. Saking hati-hatinya bila ada peneliti yang naik becak, harus dicatat pengeluarannya dan nomor becaknya, bila beli perlengkapan di pasar harus ada nota meski tulis tangan dan cap ada jempol dari bakulnya. Bila dana penelitian yang sudah dianggarkan masih sisa, maka berapapun sisanya harus dikembalikan ( pada hal di zaman Orde Baru setiap mata anggaran harus habis, bila tidak habis, maka anggaran berikutnya akan dikurangi ). Namun, pak Sartono tidak mau berbuat yang demikian, karena ia punya prinsip, yang penting berbuat jujur apa adanya, yang dimulai dari diri kita, itulah tanggung jawab kita !. Prinsip dan sikap pak Sartono itu secara langsung mendidik dalam praktek bagi murid-murid dan lingkungan kerjanya.

Sebagai cendikiawan, Pak Sartono tidak mau didekte oleh penguasa. Bila ada order penelitian yang bersifat mendekte hasilnya, maka pasti ditolak oleh Pak Sartono. Ia punya prinsip, bahwa penelitian itu dilakukan sesuai dengan prosedur-metodologinya, sedangkan hasilnya berdasarkan dari realitas temuan yang diteliti atau dikaji. Memang kantornya berkecimpung dalam penelitian, namun ketika dipegang oleh Pak Sartono, sangat selektif dan mencerminkan sifat independensinya.

Pada saat Pak Sartono diminta memimpin penulisan Sejarah Nasional Indonesia, sebagai seorang sejarawan iapun terima dengan senang hati, namun ketika pemerintah mulai akan ikut campur intevensi, maka dengan tegas pak Sartono beserta para sejarawan koleganya, antara lain pak Taufik Abdullah dan pak Abdurrahman Suryamiharja , mengundurkan diri dari panitia penulisan itu.

Pak Sartono selalu mengikuti perkembangan Ilmu Sejarah baik di Indonesia maupun di manca negara. Boleh dikatakan hampir setiap ada seminar sejarah, pak Sartono ikut aktif di dalamnya, dan memberikan pencerahan bagi para sejarawan. Oleh karena itu, ketika di Jakarta digelar Konggres Sejarah Nasional dan Seminar Sejarah Nasional ke 8, di bulan November 2006, Pak Sartono dalam keadaan sakit di Panti Rapih. Ketika kami pamit, pak Sartono mbrebes mili merasa kecewa berat tidak dapat mengikuti seminar itu, dan ia pun kirim salam pada para koleganya, dan mengucapkan selamat berseminar. Dalam konggres sejarah itu Pak Sartono mendapatkan penghargaan yang diterimakan pada muridnya, yaitu Pak Djoko Suryo. Sepulang dari seminar, kamipun menengok kembali Pak Sartono, ia menceriterakan selalu bermimpi mengikuti seminar dan bertemu dengan koleganya.
Walau dalam keadaan sakit, pak Sartono masih memikirkan perkembangan ilmu sejarah, dan selalu bertanya pada muridnya “ Apakah masih terus menulis ? “, dan bila ada muridnya yang menghadiahkan buku karyanya, Pak Sartono tampak senang dan kemudian menyatakan “ Turuskan dan jangan berhenti !”.




III

Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, MA, adalah seorang pemikir, ilmuwan-intelektual dalam bidang Ilmu Sejarah pada khususnya, dan juga dalam bidang Ilmu Sosial serta Humaniora. Ia sangat terkenal baik di tingkat nasional maupun ditingkat Indernasional. Ia sangat berjasa sebagai peletak dasar-dasar kajian sejarah kritis, sebagai pembaharu dalam kajian Ilmu Sejarah di Indonesia. Pak Sartono yang mulai mengubah dan memperkenalkan sudut-pandang dalam penulisan Sejarah Indonesia, dari sudut pandang Neerlando-sentrisme/ Eropa-sentrisme diubah menjadi sudut pandang Indonesia-sentrisme. Dalam hal ini, mengubah sudut pandang sejarah dari yang lebih menempatkan bangsa Belanda atau Eropa berperan di panggung sejarah Indonesia, diubah dengan mendudukkan peran bangsa Indonesia sebagai pelaku utama yang berkiprah dalam panggung Sejarah Indonesia. Jadi, Sejarah Indonesia bukan merupakan kepanjangan atau subordinat dari sejarah bangsa Eropa, namun bangsa Indonesia punya sejarahnya sendiri.

Selain itu, Pak Sartono juga membuka dan memberikan pencerahan, bahwa pentingnya dalam Ilmu Sejarah digunakan pendekatan multi-demensional dan interdisipliner, dalam rangka untuk membantu penjelasan sejarah. Dengan demikian rekonstruksi sejarah dapat mendekati kejadian yang sebenarnya. Dalam hal ini, penulisan sejarah tidak hanya terfokus pada orang-orang besar, dan atau negara, namun dalam rekonstruksi sejarah yang ditulis oleh Pak Sartono juga memperhatikan dan melibatkan peranan “wong cilik” yang ada di dalamnya. Disertasi yang menghantarkan pak Sartono mendapat gelar doktor dengan predikat cum laude dalam Ilmu Sejarah (Amsterdam, 1 November 1966) adalah The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia, di dalamnya mengungkapkan pemberontakan wong cilik yaitu Petani di Banten yang dipimpin oleh para ulama diantaranya KH Wasid. Dalam disertasi itu digunakan pula pendekatan multi-demensiaonal, terutama konsep-konsep ilmu sosial.


IV

Prof.Dr. Djoko Suryo, salah seorang murid setia Pak Sartono ( sekarang menjadi sesepuh Jurusan Sejarah FIB UGM ), menuturkan dalam kata pengantar buku Membuka Pintu Bagi Masa Depan; Biografi Sartono Kartodirdjo, karya Nursyam, bahwa perkembangan kehidupan pak Sartono melalui tiga kisaran, pertama ketika mengalami pergeseran kehidupan dari lingkungan pendidikan sekolah umum di pedesaan ( MULO, di Surakarta ) ke lingkungan sekolah keagamaan Katholik ( calon bruder , di HIK Muntilan ). Kisaran kedua, ketika Pak Sartono mengalami pergeseran kehidupan dari lingkungan kerohanian ( kebiaraan ) ke lingkunganmasusia biasa, yaitu menjadi guru sekolah umum, mulai dari Taman Kanak-kanak sampai SMA. Pak Sartono kemudian juga menikah sebagai “Pengantin Revolusi”, dan menjalani hidup berumah tangga. Kisaran yang ketiga, pada saat Pak Sartono memilih berkecimpung dalam studi lanjutnya pada bidang Ilmu Sejarah ( di Yale Amerika Serikat dan di Amsterdam, Negeri Belanda ). Dari pendidikannya itu, menghantarkan Pak Sartono mencapai tataran yang tertinggi, yaitu sebagai Guru Besar dalam Ilmu Sejarah, sampai akhir hayatnya ( pada tanggal 7 Desember 2007 ), dalam usia 86 tahun.

Prof. Dr.A. Sartono Kartodirdjo, adalah Begawan Sejarah yang handal, sebagai sosok manusia yang berkarakter, sebagai pendidik yang tekun dan berdedikasi tinggi menghantarkan murid-muridnya untuk membuka pintu bagi masa depan. Pak Sartono dikenal teguh dalam pendirian, dan jujur dalam perjalanan hidupnya. Ia sebagai kepala keluarga yang penuh cinta kasih dalam membina rumah tangganya.
Selamat jalan Pak Sartono, dalam menghadap keharibaan Yang Maha Kuasa, beristirahat dengan tenang dan damai
Kini tinggalah satu harapan, yaitu lahirnya Sartono –Sartono baru.
Semoga.
Jogjakarta, 13 Maret 2008
AHMAD ADABY DARBAN