Oleh:
A. Adaby Darban
Muqadimah
Makalah singkat ini ditulis
atas permintaan Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A (K) selaku Ketua Senat
Akademik Universitas Gadjah Mada, dalam
rangka memperingati 254 tahun Perjanjian Giyanti ( 13 Februari 1755 – 13
Februari 2009 ). Perjanjian Giyanti memiliki makna penting bagi lahirnya
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan kemudian sebagai Daerah Istimewa
Yogyakarta, menjadi bagian dari NKRI.
PERJUANGAN PENGERAN
MANGKUBUMI
SEKILAS
TENTANG PANGERAN MANGKUBUMI
Nama kecil Pangeran
Mangubumi adalah BRM Sujono, putera Sunan Amangkurat IV ( Jawi ) dengan BMA
Tejawati. Saudara seayahnya antara lain BRM Damar ( Pangeran Aryo Mangkunegoro,
ayah dari RM Said yang kemudian menjadi Sambernyowo/ KGPAA Mangkunegoro I );
GRM Proboyoso, yang kemudian menjadi Sunan Pakubuwana II ).
BRM Sujono, meskipun putera
raja, namun ia hidup sederhana, aktif beribadah mendekatkan diri pada Tuhan
Allah Swt., serta mendalami ilmu yang bermanfaat bagi kepribadiannya.
Dalam Serat Cebolek dikisahkan
bahwa P. Mangkubumi sangat rajin beribadah, sholat lima waktu berjamaah, puasa
senin-kamis, mengaji kitab suci Al Qur’an, dan suka beramal sholeh ( kebajikan
). Selain itu, P. Mangkubumi juga senang mengembara untuk menuntut ilmu dan
mengadakan pendekatan pada masyarakat, dan memberikan pertolongan pada yang
tidak mampu dan lemah.
Sebagai seorang yang taat
beragama, P. Mangkubumi seorang bangsawan sekaligus sebagai santri juga
berusaha menyadarkan pada masyarakat untuk menjauhi perbuatan yang maksiyat. Ia
pun berani bertindak tegas untuk membrantas kemaksiyatan tanpa pandang bulu.
Sebagai contoh, ketika mendapatkan laporan bahwa di nDalem Jagabayan terjadi
pesta menanggap Ronggeng, minum-minuman keras, perjudian dan perzinaan, maka P.
Mangkubumi dengan pengikutnya menggropyok
pesta tersebut, pelakunya ditangkap, dan diserahkan pada raja.
Sebagai putera raja
Mataram, P. Mangkubumi juga menjalani kehidupan sebagaimana lazimnya para
bangsawan, seperti mengikuti latihan keprajuritan, latihan keprajan (
memerintah ) dan kepemimpinan, berlatih ilmu kanuragan, adat-istiadat dan
budaya. Hasilnya dapat dilihat, memiliki sifat kepemimpinan yang mumpuni baik
dalam pemerintahan maupun keprajuritan, dan disayangi oleh pengikutnya. Pada
tahun 1746 P. Mangkubumi baru memiliki 3000 orang prajurit, pada
perkembangannya pada tahun 1747 meningkat jadi 13000 orang prajurit diantaranya
terdapat 2500 pasukan berkuda. Tiga belas tahun kemudian (1750) pengikut P.
Mangkubumi meningkat, karena dukungan
rakyat. Loyalitas P. Mangkubumi pada Mataram tinggi, ia sering ditugasi untuk
memadamkan pemberontakan, ia pun juga memiliki sikap patriotic, yaitu tidak
suka adanya campurtangan VOC Belanda terhadap Mataram, dan menyayangkan kelemahan
Sunan Pakubuwana II yang memberikan peluang pada VOC untuk menguasai wilayah
Mataram. Sebagai saudara, P.Mangkubumi sering memberikan saran agar Sunan
Pakubuwana II tidak memberikan kesempatan pada Belanda untuk menggrogoti
Mataram.
PERJUANGAN
PANGERAN MANGKUBUMI
Membicarakan Perjanjian
Giyanti tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan Kerajaan Mataram , karena
perjanjian itulah yang akan menentukan kelanjutan sejarah dinasti Mataram. Pada zaman
Mataram diperintah Sultan Agung, memiliki kekuatan yang disegani oleh Belanda. Bahkan
Mataram pernah menyerang jantung kekuasaan VOC di Batavia, pada penyerangan itu
Gubernur Jendral JP Coen pun tewas ( 1629 ). Namun, setelah Sultan Agung wafat,
digantikan oleh Sunan Amangkurat I, Belanda mulai mengadakan pendekatan dan
memainkan peranannya untuk campur tangan terhadap Mataram. Untuk selanjutnya,
Belanda mulai menggrogoti wilayah Mataram sampai dengan pada zaman pemerintahan
Sunan Pakubuwana II yang lemah pendiriannya dalam menghadapi Belanda. Oleh
karena itu, pada era Sunan Pakubuwana II ini seringnterjadi pemberontakan,
antara lain:
Pemberontakan
Martopuro
yang mendapat dukungan RM Said ( Putera P. Ario Mangkunegara ), karena rekayasa
VOC sehingga ayahnya diasingkan ke Ceylon, dan yang dinobatkan sebagai raja
adalah GRM Proboyoso sebagai Sunan Paku Buwana II;
Pemberontakan
Orang Orang Cina ( Geger Pacina 1742 )yang menyebabkan pindahnya
kraton Mataram dari Kartosuro ke Surokarto (Sala) dan Sunan Paku Buwana II
harus menandatangani Perjanjian Ponorogo dengan van Hohendorff, yang isinya
merugikan Mataram dan memperkuat posisi VOC di Jawa ( isinya antara lain,
menyerahkan seluruh daerah pesisir pada VOC, dan menyetujui dalam pengangkatan
patih harus ada persetujuan VOC ).
Kedua peristiwa itu
menjadikan Mataram semakin lemah, maka ketika Sunan Paku Buwana II mengadakan
sayembara untuk memadamkan perlawanan RM Said, bila berhasil akan diberikan
hadiah tanah Sukowati. Pangeran Mangkubu- mi merasa terpanggil untuk memadamkan
perlawanan dan menguatkan kemba- li Mataram, maka diikutilah sayembara itu.
Pangeran Mangkubumi dengan pasu- kannya berhasil mengalahkan perlawanan RM Said
dan P. Martopuro, namun kedua pangeran itu tidak ditangkap.
Setelah keadaan Mataram
tentram, maka Pangeran Mangkubumi dipanggil dalam perjamuan dan akan diberi hadiah tanah Sukowati yang
luasnya 3000 cacah. Namun, karena karena adanya hasutan dari van Hohendorff
, Patih Pringgoloyo dan juga desakan Gubernur Jendral van Imhoff (mereka
bersekongkol ), yang ketigaya itu tidak suka pada Pangeran Mangkubumi karena
patriotiknya ( dianggap membahayakan VOC ), maka Sunan Paku Buwana II takut
desakan pembatalan itu, dan tidak jadi
memberikan hadiah pada Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi yang sudah
hadir itu sangatlah kecewa, maka pada malam hari bersama-sama dengan P.
Hadiwijoyo, P.Wijil, dan P. Krapyak serta beberapa pengikutnya yang tidak
menyukai campurtangan VOC terhadap Pemerintahan Mataram, pergi meninggalkan
Kraton Mataram (19 Mei 1746 ), untuk memulai perlawanan terhadap VOC ( 27 Robingulakir tahun Dal, dengan sengkalan “Rupa
swara obahing jagad”/ A.J.1671 ).
Bagi Pangeran Mangkubumi
peristiwa batalnya hadiah itu, hanyalah merupakan pemicu untuk melawan VOC,
sebenarnya ia telah banyak tidak suka pada perlakuan VOC terhadap Mataram,
yaitu antara lain Perjanjian Ponorogo ( 1743 ) isinya menggrogoti wewenang
Mataram dan Perjanjian 18 Mei 1746 yang isinya antara lain VOC sebagai pemilik
sah Madura dan seluruh Pesisir Utara Jawa, dengan kata lain wilayah Mataram
semakin dicaplok VOC, dan Sunan Pakubuwana II harus memnyetujui dalam
pengangkatan Patih atas persetuan VOC Belanda ( wewenang raja mulai direndahkan
).
Sunan Pakubuwana II terlalu
lemah menghadapi VOC, oleh karena itu perlu ada kekuatan yang berani melawan
VOC. Dalam Serat Cebolek dinyatakan
bahwa perlawanan Pangeran Mangkubumi dan para pangeran itu dilakukan atas perserujuan
Sunan pakubuwana II, dengan bukti antara lain diberikan bekal uang beberapa
ribu real untuk perjuangan dan juga diberi pusaka Kyai Plered. Tahun 1746
merupakan permulaan perjuangan Pangeran
Mangkubumi melawan VOC, dan baru berakhir pada tahun 1755 ( perlawanan selama 9
tahun). Perlawanan Pangeran Mangkubumi dan pendukungnya menjadi semakin kuat
setelah kemudian RM Said ikut mendukungnya. Daerah-daerah yang dulunya
digrogoti VOC ( seperti Pesisir Utara
Jawa, Negaragung, Sukowati, Semarang, Ambarawa, Salatiga, Boyolali, Grobogan
dan sekitar Surakarta ) berhasil diduduki oleh Pasukan P. Mangkubumi dan RM
Said. Belanda merasakan terdesak, dan
sebagaian besar daerah-daerah yang dulunya milik Mataram yang telah dikuasai
Belanda dapat dibebaskan oleh P.Mangkubumi dan RM Said.
Belanda kemudian membuat
rekayasa baru untuk dapat menguasai seluruh Mataram, yaitu van Hohendorff
membuat naskah perjanjian baru, yang disodorkan ketika Sunan Paku Buwana II
sakit keras, dipaksa untuk
menandatanganinya. Adapun isi perjanjian itu adalah “Penyerahan Kerajaan Mataram Seluruhnya Pada VOC”, dengan ketentuan
bahwa bagi keturunan Sunan Pakubuwana II yang berhak naik tahta dapat menduduki
tahta atas pinjaman dari
VOC,kejadian itu pada tanggal 16 Desember 1749 . ( Tentang penyerahan ini ada
berbagai interpretasi, yaitu hanya dititipkan, tanda tangan Sunan PB II itu
tidak syah karena sudah lengser lebih dahulu, atau tidak benar, karena dalam
keadaan tidak sadar penuh ).
Setelah VOC Belanda
berhasil memaksa Sunan Pakubuwana II menandatangani “penyerahan Mataram”, maka
VOC bersama patih Pringgoloyo pun membuat kebijakan yang semakin menyengsarakan
rakyat. Dengan demikian masyarakat yang semakin tertindas itu mulai berani melawan kebijakan itu dan
bergabung membantu perjuangan P.Mangkubumi. Wafatnya Sunan Pakubuwana II dan
kabar adanya “penyerahan Mataram pada VOC”, membuat perjuangan P. Mangkubumi
semakin ditingkatkan untuk melawan Belanda dan kepemimpinan Patih Pringgoloyo. Para bangsawan dan pengikut P. Mangkubumi kemudian
mengangkat dan menobatkan P. Mangkubumi sebagai Sunan Pakubuwana (pada tanggal
11 Desember 1749, di desa Kabanaran ), maka dikenal sebagai Sunan Kabanaran.
Perlawanan P. Mangkubumi
semakin dahsyat dan pihak Belanda VOC terdesak di beberapa front, dan
pasukannya banyak yang tewas. Setelah berkali-kali diusakanan penambahan
pasukan dan beaya perang, namun Belanda yang dibantu oleh Patih Pringgoloyo
tidak dapat memadamkan perjuangan P. Mangkubumi dan pengikutnya. Pada tahun
1750 hampir seluruh wilayah Kerajaan Mataram dapat dikuasai oleh P.Mangkubumi
yang dibantu oleh RM Said. Dalam hal ini VOC mengalami kebangkrutan, Gubernur
Jawa Utara Baron van Hohendorff merasa gagal kemudian sakit, dan mengundurkan
diri dari jabatannya, kemudian digantikan oleh Nicholaas Hartingh ( dikenal
menguasai bahasa Jawa dan pandai bergaul ). Adapun Gubernur Jendral van Imhoff merasa gagal dalam menghadapi
perjuangan P. Mangkubumi, akhirnya menderita sakit keras, dan kemudian
meninggal dunia, kemudian digantikan oleh Gubernur Jendral Mossel. Sebagai raja
Mataram diangkat Adipati Anom, yang
bergelar Sunan Pakubuwana III, dalam pengangkatannya banyak campurtangan VOC.
Baik Sunan Pakubuwana III dan Gubernur N.Hastingh berusaha untuk mengakhiri
perlawanan P. Mangkubumi dengan jalan perang tidak berhasil, maka diadakan
langkah-langkah lain, yaitu perundingan.
PERUNDINGAN
MENUJU PERJANJIAN GIYANTI
Gubernur Hastingh berusaha
menemui P. Mangkubumi dengan perantaraan Syeh Ibrahim atau Tuan Sarip Besar.
Pertemuan antara P. Mangkubumi dengan N.Hastingh berhasil terjadi pada hari
Ahad tanggal 22 September 1754. Menurut Register Harian N. Hartingh
disebutkan bahwa kedatangan N. Hastingh bersama
Kapten Donkel, dijemput oleh P. Adipati Anom, Tumenggung Ronggo, dan
Tumenggung Mondoroko yang dikawal oleh 200 prajurit, dihantarkan menuju
Pesanggrahan P.Mangkubumi ( dijaga 7000 prajurit ). P. Mangkubumi didampingi
oleh P.Adipati Anom, P. Hangabehi, P. Notokusumo, juga para tumenggung antara
lain Alap-alap, Ronggo, Mandoroko, dan Brojomusti.
N.Hartingh mengajak P.
Mangkubumi untuk menghilangkan saling
curiga dan mengajak untuk berunding untuk mencapai persetujuan bersama.
Selanjutnya diadakan pertemuan terbatas, P. Mangkubumi didampingi P.Notokusumo
dan Tumenggung Ronggo, sedangkan N. Hartingh didampingi oleh Breton, Kapten van
Donkel dan sekretaris Fockens, adapun Pendeta Bastani jadi juru bahasanya.
Pembicaraan awal mengenai
pembagian Mataram menjadi dua bagian, dalam hal ini N.
Hartingh merasa keberatan. Oleh karena belum ada kesepakatan, dan
masih saling curiga, maka perundingan ditunda esok harinya ( 23 September 1754
). Untuk menghilangkan saling curiga mencari jalan yang baik, maka keduanya
bersumpah kepada Tuhan untuk mencari jalan yang terbaik. Pada keesokan harinya
perundingan dibuka kembali dan berjalan lancer, sehingga tercapai persetujuan
antara lain :
- Pangeran Mangkubumi mendapatkan separo dari kerajaan Mataram
- Pengeran Mangkubumi akan memakai gelar Sultan
- Daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh raja-raja Mataram terdahulu pada kompeni, tetap dikuasai oleh kompeni.
- Ganti Kerugian sebanyak 20.000 real dari kompeni yang diterima oleh raja-raja Mataram terdahulu terhadap ganti rugi daerah pesisir itu, separo diberikan pada P. Mangkubumi setiap tahunnya. ( 10.000 real/tahun ).
- Separo dari pusaka-pusaka kraton Mataram diberikan pada P. Mangkubumi. ( dalam Soedarisman Poerwokoesumo, Kadipaten Pakualaman ).
Setelah perundingan itu,
hasilnya dilaporkan pada Gubernur Jendral Mossel, kemudian oleh Mossel
disampaikan melalui surat kepada Sunan Pakubuwana III, dan Sunan Pakubuwana III
pun setuju usul untuk menyerahkan separo Kerajaan Mataram pada P. Mangkubumi.(
surat Sunan Pakubuwana III, 4 November 1754).Dengan demikian, maka disusunlah
naskah Perjanjian Giyanti, yang ditandatangani
pada tanggal 13 Februari 1755 di
Desa Giyanti ( sekarang lokasinya di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, tenggara
Karanganyar ). Adapun isinya ada 10 pasal antara lain :
Pengakuan Kompeni dan Sunan
Pakubuwana III atas Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panotogomo Kalifatullah jumeneng di atas separo dari kerajaan Mataram, yang
diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini
Pangeran Adipati Anom Raden Mas Sundoro.
Kompeni akan memberikan
ganti rugi pada Sri Sultan Hamengku Buwana setiap tahunnya 10.000 Real, atas
daerah Madura dan Pesisir Utara Jawa yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada Kompeni.
Sri Sultan berjanji akan
memberikan bantuan pada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu diperlukan.
(selengkapnya dapat dibaca
pada Soedarisman Porwokoesoemo,Kadipaten Pakualaman,Jogjakarta: Gadjah Mada
University Press,1985).
Dengan adanya Prjanjian
Giyanti, 13 Februari 1755 ini berarti berdirinya Kasultanan Ngayogyokarto
Hadiningrat, sebagai negara baru dari pilahan
atau palihan Nagari Mataram.
Adapun wilayahnya dibagai
antara lain : Untuk wilayah Negaragung,
masing-masing mendapatkan bagian 53.100 cacah, sedangkan untuk daerah Mancanegara, Sunan dapat 32.350 cacah, dan Sultan dapat 33.950 cacah. Namun, sayangnya daerah
pembagiannya terpencar dan selang-seling, ada bagian daerah Mancanegara Surakarta di sebelah barat Yogyakarta, sebaliknya ada
daerah mancanegara Yogyakarta ada di sebelah timur Surakarta. Dengan demikian penyelenggaraan
pemerintahan dan penggalangan menjadi sulit. ( kemungkinan disengaja oleh
Belanda, agar kedua kerajaan itu kesulitan dalam menggalang kekuasaan ).( untu
mengetahui nama-nama bagian daerah, dapat dibaca dalam buku Hari
Jadi Kota Yogyakarta,2004 )
Adapun RM Said dengan
Perjanjian Salatiga ( 17 Maret 1757 ) juga diakui dan diangkat menjadi Sri
Mangkunegara I, menguasai nagari Mangkunegara, dengan daerah kekuasaanya antara
lain Wonogiri.
BERDIRINYA
KERAJAAN NGAYOGYOKARTO HADININGRAT
Dalam Babad Nitik Ngayogyokarto
diterangkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwana I adalah seorang arif bijaksana,
dekat dengan masyarakat, dan memiliki kecerdasan dan ilmu yang tinggi. Sebelum
membuat kraton, ia memperhatikan keadaan lahan yang harus dipersiapkan,
sehingga akan dapat mensejahterakan dan menyelamatkan, serta ketentraman
masyarakat banyak. Oleh karena itu, dipilihlah Hutan Beringan, yang dikenal subur, selamat dari banjir ( karena
diapit oleh dua sungai, Code dan Winongo, serta punya letak kemiringan dari G.
Merapi sampai Pantai Selatan ). Dalam rangka menunggu pembangunan kraton, maka
Sultan Hamengku Buwana I untuk sementara mengutus Tumenggung Jayawinata
membangun pesanggrahan Ambarketawang.
Menurut beberapa sumber ada
perbedaan tentang resminya Sultan Hamengku Buwana I pertama memasuki bangunan
Kraton Ngayogyokrarto Hadiningrat. Menurur Babad Mangkubumi diterangkan bahwa
Sultan mulai masuk kraton pada hari Kamis legi, 1 Sapar 1681 atau tanggal 6
November 1755. Menurut sember Balanda, disebutkan bahwa Sultan memasuki kraton
tepat satu tahun perjanjian Giyanti 13 Februari 1756. Namun, menurut Prasasti
sengkala memet “Dwi Naga Rasa Tunggal”, berbentuk Ular Naga yang ekornya
bertalian, yang berarti tahun 1756.
( tempatnya di Baturana Pintu Gerbang
Gadhung Mlati, dan juga di Baturana Kemagangan Kidul ). Menurut buku Peringatan 200 tahun Kota
Jogjakarta (1956), dinyatakan bahwa Kasultanan menetapkan berdirinya
Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat
adalah pada hari Kamis Pahing, 13 Syuro,
jimakir 1682 atau 7 Oktober 1756. Pada hari itu dinyatakan adanya boyongan Sultan beserta kerabatnya dari
Ambarketawang ke Kraton Ngayogyakarto
hadiningrat, dan mulailah menjalankan pemerintahan di kraton baru itu.
Sebelum membangun kraton,
Sultan Hamengku Buwana I sudah terlebih dahulu memproklamirkan Hadeging
Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyokarto Hadiningrat,( separo Nagari
Mataram) , yang dilakukan di Pasanggrahan Ambarketawang pada hari Kamis
Pon, 29 Jumadil’awal Be 1680 (tahun
Jawa) atau 13 Maret 1755.
IDENTITAS
KASULTANAN NGAYOGYOKARTO HADININGRAT
Kerajaan Ngayogyokarto
Hadiningrat memiliki identitas yang unik antara lain, yaitu:
Pertama, nama Ngayogyokarto
kemungkinan mendapat inspirasi dari Sri Rama yang menjadi raja di Ayodyapura, P. Mangkubumi senang dengan tokoh Sri Rama,sebagai jelmaan Wisnu yang memelihara Jagad raya, dan sebagai tokoh
ksatriya pembela negara, keadilan, kebenaran, dan menciptakan kesejahteraan.
Kedua, kesepakatan Sunan
Pakubuwana III dan Sultan Hamengku Buwana I di Jatisari ( dekat Giyanti ), yang
isinya antara lain tentang kebudayaan yang akan dipakai, yaitu Sultan Hamengku
Buwana I memilih meneruskan tradisi budaya Mataram yang sebelum dibagi,
sedangkan Sunan Pakubuwana III akan mengembangkan kebudayaan yang baru.
Ketiga, adalah identitas
patriotisme, mencintai tanah air ( Hubul
Wathon minal Iman), meneruskan tradisi Sultan Agung, yaitu Sultan Hamengku
Buwana I selalu mempertahankan Bhumi Mataram, dan selalu berupaya melindungi
tanah air dan rakyatnya. Menurut sejarawan MC Ricklefs, bahwa hanya ada dua
raja yang disebut besar dalam sejarah Mataram, yaitu Sultan Agung dan Hamengku Buwana I ( sebagai a great builder ).
Sultan Hamengku Buwana I
selalu menjalin hubungan baik dengan Pakubuwana III dan Sri Mangkunegara I, dan
selalu mencegah campurtangan VOC pada kerajaannya. Hal ini diteruskan oleh
keturunannya. Dalam hal menginginkan hubungan baik dengan kerajaan Surakarta dan Mangkunegara, sultan Jogjakarta ( Hamengu Buwana VII ) antara lain
mengawinkan putrinya ( GKR Hemas ) dengan Sunan Pakubuwana X, dan juga
mengawinkan puterinya ( GKR Timur ) dengan
K.Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara VII.
Semangat Patriotisme
Sultang Hamengku Buwana dilanjutkan sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana
IX, yang dengan gigih membela tanah airnya. Kasultanan Ngayogyokarto
Hadiningrat merupakan negara yang berdaulat, dan tidak menjadi onderbow Hindia
Belanda. Hindia Belanda mengakui kebaradaan Kasultanan, dan bila akan
mengadakan kebijakan yang menyangkut wilayah Kasultanan, selalu mengajak
berunding dengan kedudukan yang sama.
Pada zaman Jepang pun mengakui kedaulatan Kasultanan Ngayogyokarto
Hadiningrat dijadikan Kooti, semacam
daerah Istimewa, dan Sultan Hamengu Buwana IX dijadikan kepala
pemerintahannya. Pada saat persiapan kemerdekaan dalam pembentukan BPUPKI,
kasultanan juga diminta wakilnya dalam lembaga itu. Demikian pula setelah
Republik Indonesia merdeka, wilayah Kasultanan dan Paku Alaman juga dijadikan
Daerah Istimewa Yogyakarta ( setara dengan propinsi ) yang dipimpin oleh Sultan
Hamengku Buwana dan Sri Paku Alam, hal ini merupakan buah dari sikap
patriotisme Sultan Hamengku Buwana IX dan Sri Paku Alam dalam pernyataanya
tanggal 5 September 1945.
*******************************************************************************************
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Adaby
Darban. “ Aspek Historis dan Substantif Serat Cebolek “ dalamKhasanah
Budaya Kraton Yogyakarta buku II. Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia,
2001.
Anton Satyo
Hendriatmo. Giyanti 1755, Tangerang: CS.Book, 2006
Babad Nitik
Ngayogyo, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah,
1981.
Houben.
Vincent.J.H. Kraton and Kumpeni, Surakarta and Yogyakarta. Leiden:
KITLV, 1994.
Marsono.
Ahmad Adaby Darban, Djoko Dwiyanto dan Musadad. Hari Jadi Kota
Yogyakarta. Yogyakarta:
Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, 2004.
Ricklefs.M.C.
Sejarah
Indonesia
Modern . Terj. Yogyakarta: Gadjah
Mada University
Press, 1998.
----------------
Yogyakarta di
Bawah Sultan Mangkubumi 1749 – 1792. terj. Yogyakarta:
Mata Bangsa, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar