Oleh:
Ahmad Adaby Darban
Wacana yang muncul dari bebarapa lembaga dan
perorangan, baik itu seniman, budayawan, ulama, maupun cendikiawan di
lingkungan masyarakat Yogyakarta tentang “
Yogyakarta Serambi Madinah “, perlu mendapatkan
perhatian yang seksama. Dengan khusnudhon munculnya wacana itu
merupakan sebuah upaya yang baik, dalam rangka untuk lebih mendekatkan
nilai-nilai kebaikan antara Madinah dan Yogyakarta, serta melanjutkan hubungan
budaya dari keduanya yang telah mesra sejak dipertemukan oleh para wali dan
Sultan Agung Hanyakrakusuma. Budaya Arab yang Islami dan Budaya Jawa telah
bertemu mesra dalam lingkungan Kerajaan Mataram Islam. Sebagai contoh,
pengawinan kalender Ajisaka dengan kalender Hijriyah, menjadi Kalender Jawa
telah membuktikan keduanya dapat berhubungan secara mesra. Demikian pula, dalam
tata-pemerintahan, upacara-upacara tradisional, kesenian,
Sastra, Kebudayaan dan
peradaban, serta setting kota ( Kraton/Kabupaten
– Alun-alun dan Masjid ) menjadi aikon dari kota-kota baik di Jawa maupun di
kawasan Indonesia
lainnya.
Di samping itu, budaya menghadapi
masyarakat yang majemuk, di zaman Nabi Muhammad SAW memimpin Madianah ( Lihat PIAGAM MADINAH ), mayoritas muslim
dapat hidup secara damai dengan masyarakat Yahudi dan Nasrani, serta masyarakat
keduanya pun mendapat perlindungan dan hak-haknya untuk beribadah dan bernegara
bersama umat Islam. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang mewarisi tradisi
Mataram Islam, Rajanya mencantumkan dalam gelarnya “Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah”, meskipun sebagai
raja dalam kerajaan Islam, selalu menjaga kedamaian, melindungi dan memberikan
hak-haknya pada sebagian masyarakat yang bukan Islam, sehingga berhasil
menciptakan ketenytraman dan kesejahteraan bersama. Masyarakat Yogyakarta pun
selalu berusaha untuk “guyup-rukun” dalam hidup
berdampingan secara damai, meskipun terdiri dari berbeda-beda agama, kesukuan,
bahkan kebangsaan. Keadaan itu terus diusahakan berlangsung terus.
Oleh karena itulah, wacana tentang
“Yogyakarta Serambi Madinah”, adalah
tidak bertentangan dengan budaya dan kehidupan social keagamaan, berbangsa dan
bernegara, bahkan justeru akan menjadikan Yogyakarta lebih maju sesuai dengan
jatidirinya. Meskipun sudah merdeka, dan
Yogyakarta telah menjadi Daerah Istimewa dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, jatidiri Yogyakarta
sebagai daerah yang religious ( lihat filoshofis Kraton- Alun-alun , dan Masjid
Gedhe ). Di Yogyakarta, antara penduduk asli dan pendatang dari berbagai daerah
dan sukubangsa, dapat hidup tentram dan damai. Yogyakarta sebagai Kota Pelajar,
Kota Budaya, dan pengembangan Peradaban, sebagai tempat persemaian mendidik, mengembangkan,
penggodogan kader-kader bangsa di masa kini dan masa yang akan datang.
Mewujudkan wacana tentang “Yogyakarta Serambi Madinah” adalah
langkah yang dapat dianggap positif, karena jatidiri Yogyakarta
selaras dengan Madinah sebagai negeri yang perperadaban. Dengan demikian,
meskipun hanya sebatas “ Serambi”,
dalam arti tidak keseluruhan sama, namun paling tidak terdapat kesamaan dalam
berhasil menciptakan ketentraman-kedamaian dalam masyarakat yang majemuk. Paling tidak ada kesamaan, bahwa Madinah dan Yogyakarta sebagai negeri pengembang Ilmu Pengetahuan dan
Peradaban. Madinah dan Yogyakarta sebagai
negeri yang mengedepankan religiousitas dalam membina masyarakatnya. Masyarakat Madinah dan Yogyakarta
memiliki karakter yang hampir sama, yaitu santun, ramah dan sopan. Dengan
demikian, maka langkah untuk mewujudkan wacana”Yogyakarta Serambi Madinah”, berarti juga Yogyakarta akan selalu
ingat sebagai “Negeri yang Berperadaban,
dan akan selalu Menjaga Nilai-Nilai Peradaban yang Tinggi,seperti Madinatul
Munawwaroh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar